Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (1)

6325

Pada Juli-Desember 2019 lalu, total warga yang sakit meningkat menjadi 742 orang. Angka tersebut berasal dari data warga yang berobat ke klinik kesehatan perusahaan. Tidak termasuk yang ke puskesmas atau pusat layanan kesehatan lainnya.

“Kalau sakit kulit, pasti ada. Tapi, kalau jumlahnya ratusan, baru kali ini terjadi. Ya setelah ada pabrik itu,” kata Nurasim. Sampai kini, para penderita itu bahkan harus mengonsumsi obat-obatan agar tidak mengalami gatal-gatal.

Abdul Rozak, 23, adalah salah satu warga yang mengalami sakit kulit paling parah. Hampir sekujur tubuhnya, dari punggung hingga wajah mengalami bentol-bentol seukuran biji kedelai. Bahkan, jika dikalkulasi, satu unit sepeda motor telah habis hanya untuk berobat.

Asap hitam keluar dari cerobong insenerator PRIA di Lakardowo, Mojokerto. Foto: Asad Asnawi.

Dulu, Suparno, 48, ayahnya masih berpikir untuk membawanya ke dokter. Tetapi, kini tidak lagi. “Satu sepeda motor sudah habis untuk berobat. Wong sekali berobat biayanya sampai Rp 400 ribu,” terang Suparno menceritakan kondisi anaknya. Ia menyebut, kegiatan PT. PRIA membuat air sumurnya tercemar hingga mengakibatkan gatal-gatal.

Kondisi yang sama dialami Suwono, 45. Dulu, sebelum perusahaan itu berdiri, belum pernah ia mengalami sakit gatal seperti sekarang ini. Tetapi, semenjak PT PRIA beroperasi, penyakit itu mulai datang. Terpaksa, ia menebus obat dua minggu sekali guna dikonsumsinya tiap hari.

Gatal-gatal bukanlah satu-satunya akibat yang ditimbulkan dari aktivitas PT. PRIA. Perusahaan yang sejak awal pembangunannya dituding banyak melakukan penimbunan limbah B3 di sejumlah tempat ini juga diduga menyebabkan lingkungan sekitar tercemar.

Air yang menjadi sumber penghidupan warga tak lagi layak pakai. Begitu juga dengan tanah dan hasil pertanian. Hasil penelitian oleh sejumlah lembaga menyimpulkan adanya kandungan logam berat yang cukup tinggi.

Source International, sebuah NGO (Non Government Organization) yang berbasis di Italia dalam penelitiannya pada 2018 mengungkapkan temuan mencengangkan. Pada laporan berjudul The Enviromental and Health Impact of PT PRIA Factory in Lakardowo, disebutkan bahwa tanah di sekitar pabrik tercemar logam berat. Konsentrasinya bahkan sepuluh kali lipat dibanding titik kontrol.

Menurut laporan itu, munculnya kandungan logam berat diduga berasal dari endapan debu cerobong pabrik. Residu dari cerobong itulah yang kemudian jatuh di daerah sekitar sebelum akhirnya menyatu dengan tanah.

“Kami telah mengambil sampel tanah hingga 30 sentimeter di bawah dan menemukan debu telah mengendap dalam waktu yang cukup lama. Kemungkinan lainnya adalah paparan dari timbunan limbah yang dilakukan oleh perusahaan,” tulis Source International dalam laporannya.

Flaviano Bianchini, pendiri dan direktur Source International melalui surat elektronik mengatakan, tentu sebuah kebetulan yang mencurigakan jika kandungan senyawa berbahaya itu disebabkan karena faktor alam secara keseluruhan. “Karena itu, kami merekomendasikan kepada pemerintah agar mengambil tindakan nyata untuk menjaga kesehatan masyarakat di sekitar PT PRIA,” kata Flaviano, Selasa (8/09/2020).

Dugaan pencemaran oleh PT PRIA itu pun sejalan dengan hasil penelitian pemerhati lingkungan, Dr. Ndaru Setyo Rini. Hasil penelitiannya pada 2016 silam mengindikasikan adanya pola pencemaran oleh perusahaan.

Ndaru menjelaskan, penelitian itu dilakukan menyusul adanya pengaduan warga atas dugaan pencemaran oleh PT PRIA. “Masyarakat mengeluhkan air sumur yang berubah warna dan tidak bisa lagi dikonsumsi. Juga banyak anak-anak yang mengalami sakit kulit sejak awal 2016 silam,” katanya, 29 Juni 2020.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.