Batu (WartaBromo.com) – Maraknya ujaran kebencian,.hoaks dan narasi negatif di media sosial membuka kesadaran baru bagi perusahaan-perusahaan global.
Mereka pun kembali menoleh ke media massa profesional, setelah sebelumnya lebih sering memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan produk.
Korporasi-korporasi raksasa di Amerika mendukung kampanye Stop Hate for Profit. Gerakan ini sebenarnya diawali oleh lembaga swadaya masyarakat, namun belakangan justru korporasi-korporasi yang aktif bergerak.
“Para pemegang brand seperti Unilever, Starbuck, General Motor dan lain-lain sadar bahwa social media memberikan efektivitas dan skala pembaca yang luar biasa besar, tapi media sosial tidak bisa menangani persoalan hoaks dan ujaran kebencian,” kata Agus Sudibyo, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, dalam webinar yang menjadi rangkaian pembukaan Konferensi Wilayah II Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Timur, di Kota Batu, Jawa Timur, Sabtu (24/10/2020).
Agus mencontohkan Twitter yang tidak bisa berbuat apa-apa terhadap cuitan rasialis, diskriminatif, dan mengandung ujaran kebencian dari Presiden Donald Trump.
“Maksimal yang bisa dilakukan Twitter adalah memberikan label bahwa cuitan Trump itu tak layak dikonsumsi. Tapi tidak bisa otomatis men-takedown cuitan-cuitan itu. Jadi social media termakan janjinya sendiri bahwa mereka akan melindungi kebebasan berpendapat setiap penggunanya,” katanya
Pemegang merek-merek besar melihat ini sebagai sebuah masalah. “Mereka tidak mau iklannya diasosiasikan dengan konten-konten yang mengandung rasialisme dan semacamnya,” lanjut Agus.
Menurut Agus, platform raksasa digital, Google pun sempat dikritik keras para pemegang brand karena Youtube tak bisa memastikan konten-konten rasialis segera di-takedown. Alih-alih, konten rasialis nempel di iklan-iklan komersial yang dipasang Pepsi Cola, Walmart, dan lain-lain.
“Algoritma Youtube sangat cerdas dalam mengidentifikasi atau meregrouping penggunanya. Tapi tidak sensitif terhadap dampak algoritma tersebut terhadap imej branding,” kata Agus. Akhirnya muncul kesadaran bahwa media sosial bisa membahayakan citra sebuah produk.
“Di Eropa ada kesadaran baru pemegang brand, bahwa mereka harus berinvestasi di media massa yang relatif bisa dijaga keamanan kontennya, karena ada proses gate keeping, editing, sesuatu yang tidak terjadi di social media,” kata Agus.
“Jadi berinvestasi di media massa profesional adalah berinvestasi untuk menyelamatkan masa depan yang baik, karena kalau terjadi disrupsi total dan media massa mengalami kemunduran, dan media sosial yang dominan di ruang publik, maka yang disebut sebagai hoaks, hate news, ujaran kebencian yang memecah belah itu yang lebih dominan dan lebih banyak mempengaruhi demokrasi kita. Itu sesuatu berbahaya bukan hanya terhadap media massa, tapi ruang publik, demokrasi, dan peradaban kita,” kata Agus. (ono/asd)