Dwi Eko Lokononto, CEO Beritajatim.com dan Portal Jatim Communication menyadari, kalau media sosial bisa menangkap ‘suara kaum yang tak bersuara’.
“Kalau kita abaikan, repot juga. Tapi yang harus dipahami, produk media sosial bukan produk media jurnalistik,” kata Eko Lokononto.
Sehingga ia pun mengingatkan perusahaan (melalui public relation) yang menggunakan produk media sosial juga harus sadar: karena apa yang ditulis atau diunggah di medsos bukan produk media massa.
“Maka kalau bermain di medsos, juga harus hati-hati. Kalau muncul tudingan menyebarkan info bohong, ada aturan hukumnya,” katanya mengingatkan.
Ditegaskan, butuh “dirijen“ yang sangat kuat ketika perusahaan melibatkan karyawan dan jaringannya untuk melakukan perlawanan terhadap kampanye negatif.
“Kalau ada kesalahan yang dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin menggugat dengan Undang-Undang ITE akan sangat fatal. Jadi kalau mau melangkah seperti itu, perlu dirijen yang kuat, harus prudent, jangan sampai jadi serangan balik atau backfire bagi korporasi,” katanya.
Menurut Lokononto, penggunaan media massa arus utama untuk membangun reputasi perusahaan masih belum bisa digantikan media sosial. Berdasar riset Trust Baromoter 2018, kepercayaan terhadap media sosial makin lama makin turun.
Tahun 2016, tingkat kepercayaan terhadap media konvensional mencapai 59 persen dan pada media sosial mencapai 45 persen.
Tahun 2017, tingkat kepercayaan terhadap media konvensional 58 persen dan media sosial 42 persen. Tahun 2018, tingkat kepercayaan terhadap media konvensional meningkat jadi 63 persen dan media sosial turun jadi 40 persen. Ini artinya media arus utama memiliki modal sosial lebih tinggi berupa kepercayaan publik yang tak boleh disia-siakan. (red)