Surabaya (WartaBromo.com) – Media sosial (medsos) jadi bagian penting dalam mempromosikan keberadaan perusahaan maupun hasil produksinya. Hanya saja, perusahaan diingatkan untuk berhati-hati lantaran medsos susah untuk dikontrol.
Hal tersebut mengemuka dalam Webinar Strategi Komunikasi Korporasi di Era Digital, Kamis (22/10/2020), yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia dalam rangka Konferensi Wilayah 2 AMSI Jawa Timur.
Tofan Mahdi, Senior VP Communication and Public Affair PT Astra Agro Lestari Terbuka, yang menjadi pembicara dalam webinar tersebut menyontohkan tantangan komunikasi pada industri sawit di Indonesia.
“Setiap hari kami menghadapi hoaks dan kampanye negatif terkait sawit. Kenapa? Karena negara-negara di Eropa dan Amerika punya produk minyak nabati di luar sawit,” katanya.
Sekadar diketahui, produksi minyak kelapa sawit Indonesia masih menduduki peringkat pertama di dunia, dengan produksi 52 juta ton dari 16,3 juta hektare lahan di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sebanyak 70 persen dari produksi itu diekspor ke China, India, dan 26 negara Eropa. Kondisi ini dinilai mengganggu industri minyak nabati non sawit di Eropa dan Amerika.
Itulah, menurut Tofan, serangkaian permasalahan seakan diciptakan secara sistematis oleh organisasi-organisasi non pemerintah asing untuk menyerang sawit di Indonesia. “Isunya berganti mulai dari kesehatan, orang utan, gajah, isu suku Anak Dalam,” katanya.
Sejauh pengamatannya, tujuan embusan isu itu jelas, yakni menekan industri di Eropa agar tak membeli sawit dari Indonesia. Apalagi, minyak sawit ternyata juga bisa menjadi bahan biodiesel yang saat ini tengah digalakkan di Eropa. Dalam upayanya, pada tahun 2030, parlemen Uni Eropa sudah melarang impor kelapa sawit dari Indonesia.
Dilanjutkannya, tekanan terhadap sawit Indonesia sudah muncul sejak 15 tahun silam dan praktis tanpa perlawanan dari pemerintah dan industri sawit saat itu.
“Bahkan, pada 2009, 80 persen pemberitaan media nasional masih sangat negatif. Kami bersyukur setelah 10 tahun, ‘tone’ pemberitaan sudah mulai berubah di dalam negeri. Ini karena pemerintah sudah sangat support dan sadar bagaimana peran penting industri sawit di Indonesia,” imbuh Tofan.
Saat ini, ekspor minyak sawit menyumbangkan devisa 10 miliar dolar AS. Tofan meyakini, pada akhir tahun 2020, sumbangan devisa sawit tembus 20 miliar dolar AS. Besarnya devisa dari sawit menyelamatkan negara saat pandemi, ketika industri lain turun drastis.
“Kalau tidak punya sawit, kurs mata uang kita tidak Rp14 ribu per US dollar, tapi Rp25 ribu,” katanya.
Nah, salah satu ikhtiar meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri sawit, Tofan membangun komunikasi dengan media massa-media massa konvensional. “Tiba-tiba platform komunikasi bergeser ke platform digital, sehingga kami harus merumuskan pendekatan berbeda, karena media sosial tak bisa dikontrol. Siapapun bisa menulis apapun,” ungkapnya.
Apalagi, organisasi-organisasi non pemerintah yang menyerang industri sawit Indonesia bermain di media sosial. Strategi komunikasi pun bergeser. “Saya membangun bagaimana semua karyawan perusahaan sawit agar memanfaatkan sosmed untuk mendukung kampanye positif sawit,” kata Tofan.
Tofan punya kalkulasi untuk menyatakan jika cara ini bisa efektif. Menurutnya, jumlah karyawan perusahaan sawit di Indonesia mencapai angka lima juta orang dan ada 12 juta orang petani kelapa sawit.
“Mungkin ada 50 juta orang di Indonesia yang bergantung pada sektor minyak sawit. Itu yang kita manfaatkan jadi ‘troopers’ kita untuk berkampanye di sosial media. Tentu kita punya standar kampanye positif social media,” katanya.
Sejauh ini industri sawit Indonesia bisa melakukan perlawanan cukup baik di media sosial, terutama aplikasi Facebook.
“Ini karena mayoritas stakeholder kami, petani dan karyawan, adalah generasi baby boomer, mainnya Facebook. Cukup efektif di Facebook. Ketika ada salah satu LSM asing yang punya kantor di Indonesia yang memposting negatif tentang Astra Agro atau industri sawit, postingan itu sudah dibanjiri komen yang menunjukkan fakta sebenarnya seperti apa,” katanya.
Namun ia mengakui jika masih keteteran di Instagram dan Twitter. “Bahkan kalau di Twitter, 80 persen posting masih sangat negatif tentang sawit. Lebih banyak orang malaysia yang membalas LSM asing di Twitter, karena orang Indonesia masih belum siap (dari aspek bahasa Inggris),” katanya.