Pengasuh pesantren Gus Nurkholis mengungkapkan, bocah-bocah itu bukan hanya berasal dari wilayah Pasuruan. Tapi, juga daerah lain di Indonesia. “Macam-macam. Ada yang kami temukan, dibuang orang tuanya,” terang Gus Nur, sapaannya.
Karena berasal dari latar belakang berbeda, para santri yang totalnya berjumlah 130 orang itu tinggal di asrama berbeda. Mereka menempati bangunan asrama yang tersebar di area pondok seluas 13 hektare ini.
Di bagian depan, tepat di sebelah kiri pintu gerbang adalah khusus untuk santri dengan gangguan jiwa, eks pecandu narkoba, serta santri lain pada umumnya. Sementara di sisi selatan, khusus untuk bocah-bocah yang ditampung sejak bayi. Sedang di sisi barat, tepat di belakang bangunan sekolah dasar (SD) untuk santri perempuan.
Di asrama santri perempuan ini pula bayi-bayi yang diadopsi biasanya dirawat. Kebetulan, komplek asrama perempuan juga lebih dekat dengan kediaman pengasuh. Balita yang sudah memasuki usia 1 tahun keatas (sudah berjalan), mereka dikumpulkan dengan bocah-bocah lain yang seumuran.
Soal administrasi kependudukan, sejauh ini tidak menjadi soal. Bocah-bocah itu, pada akhirnya menjadi keluarga pengasuh. Itulah sebabnya jumlah anggota keluarga yang tercatat di KK pengasuh mencapai 130 orang.
“KK (kartu keluarga) saya sampai 13 halaman. Ya bagaimana wong mereka tidak punya keluarga. Mereka kan tidak pernah tahu siapa kakek neneknya. Yang mereka tahu hanya abinya, ya saya ini abinya. Mereka itu anak-anak saya,” jelas Gus Nurkholis.
Sejak awal berdiri, pondok yang ada di selatan jalan itu memang menasbihkan diri pada kemanusiaan dan cinta kasih. Gagasan itu yang kemudian diwujudkan dengan mendidik santri-santri ‘yang tak biasa’.
Bukan hanya bayi-bayi yang tak diinginkan. Tapi, termasuk juga gelandangan, orang dengan gangguan jiwa, eks pecandu narkoba, hingga mantan wanita pekerja seks (WPS).
Di pesantren ini, para santri tidak hanya bisa menimba ilmu agama, mengaji dan menghafal al-Quran hingga belajar ilmu tasawwuf. Tetapi, berkesempatan menambah pengetahuan umum dan juga keterampilan. Seperti beternak atau bercocok tanam.
Bagi Gus Nurkholis, pengetahuan akan pertanian dan peternakan diperlukan sebagai bekal para santri tatkala sudah keluar nanti. Sehingga, mereka tidak hanya mafhum di bidang agama, tapi juga memiliki kecakapan dan keterampilan (life skill).
Untuk menjalankan program itu, pihak pesantren mendapat dukungan dari sejumlah perusahaan. Salah satunya, Pertamina melalui anak perusahaannya Pertamina Gas (Pertagas).
Head of External Relation East Region, Tedi Abadi Yanto mengatakan, apa yang dilakukan Ponpes Metal dengan mendidik santri dari berbagai latar belakang adalah hal baik yang layak diapresiasi.
“Inilah yang kemudian membuat kami masuk untuk terlibat dalam kegiatan di ponpes,” katanya saat dihubungi melalui aplikasi percakapan, Selasa (20/10/2020).
Tedi mengemukakan, awal terlibat di tahun 2017, program CSR saat itu hanya fokus pada urusan pendidikan. Dimana, kegiatan yang dilaksanakan dimaksudkan untuk mendukung keberlanjutan kegiatan belajar santri agar lebih maksimal.
“Beberapa program kami wujudkan dalam bentuk pemberian alat-alat tulis, perbaikan sarana dan prasarana,” terang Tedi kepada WartaBromo.