Anak-anak tidak membutuhkan banyak hal. Pemberian terbaik untuknya adalah kasih sayang, biarpun mereka tak pernah tahu akar keluarganya.
Oleh: Asad Asnawi
“………MALAM-malam kadang saya menangis. Mereka ini tidak pernah merasakan kehangatan selimut orang tua……”
Penggalan kalimat itu meluncur dari bibir pengasuh Pondok Pesantren Metal Al-hidayah, Gus Nurkholis saat ditemui di kediamannya di komplek pondok, Desa Rejoso Lor, Kabupaten Pasuruan, Minggu (18/20/2020).
Nada bicaranya lirih. Sorot matanya lurus ke depan. Melalui pintu rumah yang terbuka lebar, ia menerawang ke arah bocah-bocah yang tengah asyik bermain di sudut halaman.
Jumlah mereka cukup banyak, 10 hingga 15 bocah. Dari penampakannya, usia mereka seumuran. Antara 3-5 tahun. “Ndak tahu,” ujar seorang bocah saat ditanya usianya sembari menggelengkan kepala.
Sejatinya, menanyakan usia kepada bocah-bocah ini bisa jadi merupakan hal paling absurd. Betapa tidak. Siapa orang tuanya dan darimana asalnya saja, mereka tak pernah tahu. Mereka tak pernah tahu “akar” mereka.
Tetapi, di pesantren ini, anak-anak itu setidaknya menemukan keluarga besarnya. Di pesantren ini pula mereka memiliki banyak teman untuk belajar, bermain dan gembira ria bersama.
Ditemani dua santri senior, bocah-bocah itu terlihat begitu menikmati waktu bermain. Mereka saling berlarian disertai tawa-tawa kecil. Ada pula yang tampak belajar memanjat pohon.
Bagi bocah-bocah ini, Minggu sore adalah waktu yang paling leluasa bagi mereka untuk bermain. Itu karena di akhir pekan, jadwal mengaji relatif kosong karena banyak pendidik yang libur.
“Senin sampai Sabtu biasanya mengaji. Kalau minggu begini ustadnya libur. Ada jadwal mengaji untuk malam hari,” ujar Abdullah, salah satu santri senior di sela mengawasi adik-adiknya bermain.
Abdullah sendiri sudah 15 tahun berada di pondok ini. Masa yang sama dengan usianya saat ini. “Ya dari kecil saya sudah disini,” ungkapnya sembari tersenyum.
Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul setengah empat sore. Jam bermain bocah-bocah itu pun berakhir. Oleh pendamping, mereka kemudian diminta menanggalkan pakaiannnya, lalu berkumpul; saatnya mandi.
Sebuah pemandangan menyayat hati yang jarang ditemui di pesantren-pesantren pada umumnya. Karena belum bisa mandi sendiri, bocah-bocah itu lantas diminta berbaris. Berbekal air di ember serta gayung, pendamping memandikan mereka satu per satu.
Semua proses itu berlangsung tertib. Tak ada yang rewel atau merengek laiknya bocah ketika dimandikan. Bahkan, ketika selesai pun, mereka tetap berjalan rapi menuju kamar untuk berganti pakaian.
Tak seperti pesantren kebanyakan, lembaga yang berada di pinggir Jalur Pantura ini memang tergolong unik. Berdiri tahun 1988 lalu, pesantren ini lebih banyak menampung santri ‘bermasalah’.
Selain mantan narapidana dan pengguna narkoba, sebagian santri merupakan bocah-bocah dari kelahiran yang tidak diinginkan . Ada yang dari hasil hubungan gelap (diluar nikah) atau dari wanita dengan gangguan jiwa bahkan yang kehilangan akal.
Khusus untuk wanita dengan gangguan jiwa yang ditemukan dalam keadaan mengandung. Mereka akan dibawa ke ponpes untuk dirawat hingga saat bersalin tiba. Bocah-bocah yang sebelumnya asyik bermain adalah sebagian dari mereka.