Pasuruan (WartaBromo.com) – Kelangkaan Pupuk di Kabupaten Pasuruan kini tengah menjadi sorotan. Selasa (20/10/2020) dua perwakilan ormas mendatangi kantor Dinas Pertanian untuk mengadukan persoalan itu.
Bukan hanya kelangkaan pupuk. Dalam pertemuan itu, kedua ormas juga mempertanyakan pengawasan oleh dinas mengingat maraknya harga jual pupuk non subsidi yang tidak sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).
Yusuf Assegaf, salah satu perwakilan ormas mengungkapkan, untuk pupuk urea misalnya. Harga di tingkat petani mencapai Rp 150 ribu per 50 kg.
“Bagaimana bisa harganya sampai Rp 150 ribu, kadang ada yang 130 ribu, kok bisa harganya tidak sama, bagaimana pengawasannya,” tanya Yusuf kepada Dibyo Darminto, kepala Bidang Sarana Prasarana Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan.
Dibyo sendiri menyebut kelangkaan pupuk disebabkan pasokan pupuk yang tidak sebanding dengan usulan. Usulan dari Rencana Definitif Kebutuhan (RDK) tahun 2020 sebanyak 40.000 ton. Tetapi hanya terpenuhi 25.000 ton.
“Kuota dari pusat yang turun memang hanya 60%. Kalau dibilang kurang, memang kurang, tergantung dari anggaran pusat, dan syarat untuk dapat pupuk bersubsidi harus tergabung dalam poktan,” ungkapnya.
Dalam pertemuan itu, Aminullah, perwakilan ormas lainnya juga mengeluhkan adanya praktik ‘jual paket’ antara pupuk subsidi dan non subsidi oleh kios penyedia.
“Kalau mau beli 50 kg pupuk bersubsidi harus beserta pupuk non subsidi 5 kg, kalau tidak beli paketan, tidak bisa dilayani,” ungkapnya.
Nanang, 40 tahun, petani asal Dusun Talangan, Desa Gajahbendo mengakui harga pupuk bersubsidi yang melebihi harga eceran tertinggi dari kios. Ia juga tak mengelak adanya praktik jual paket pupuk subsidi dan non subsidi.
“Saya nebus urea dari poktan Rp 110.000 per 50 kg, dan harus beli 2,5 kg pupuk non-subsidi seharga Rp 15.000,” ungkapnya kepada WartaBromo.
Terkait keluhan tersebut, Dibyo mengaku sudah mendengarnya. Ia pun menegaskan bila praktik tersebut dilarang.
Kemudian, terkait harga, menurut Dibyo, harga eceran tertinggi di kios pengecer seharga Rp 1800 per kg. Jika lebih dari itu, biasanya merupakan kebijakan tersendiri dari kelompok tani sesuai kesepakatan kelompok.
“Misal, dari kios Rp 90.000, tapi di poktan sesuai kesepakatan, ditambah menjadi Rp 110.000 untuk tranportasi poktan,” jelasnya.
Dibyo pun menegaskan tidak membenarkan oknum penjual kios untuk menjual paket pupuk bersubsidi bersama pupuk non-subsidi.
Mendengar penjelasan itu, Yusuf pun meminta pihak Dinas Pertanian memanggil petugas penyuluh pertanian di tingkat kecamatan untuk lebih memperhatikan kondisi petani.
“Kami ingin dinas mengumpulkan mantri (penyuluh pertanian) agar bisa lebih jeli melakukan pengawasan pupuk bersubsidi di tingkat bawah,” tegasnya.
Dibyo memastikan semua aspirasi akan disampaikan kepada pimpinan. Nanti juga akan dipanggil para mantri pertanian per kecamatan untuk diberikan penjelasan terkait pengawasan distribusi pupuk bersubsidi.
“Nanti kami sampaikan pada pimpinan, distribusi pupuk bersubsidi juga pengawasannya ada di Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3), jadi nanti kita surati juga,” pungkasnya.
Ditemui setelah audiensi, Dibyo menjelaskan, selama ini pelaksanaan tata niaga pupuk bersubsidi memang tertutup. Dari Kementerian Pertanian ke produsen, sampai ke tingkatan petani tidak bisa diutak-atik.
Terkait pasokan pupuk bersubsidi, Dibyo menuturkan bahwa sampai Juli 2020 pasokan pupuk masih tersisa 8.000 ton. Pengajuan RDKK pupuk bersubsidi untuk tahun depan masih berlangsung.
“Juli masih 8.000 ton, kalau sampai oktober belum tercatat, pengajuan untuk tahun depan juga sedang berlangsung oleh PPL, nanti tergantung dari RDKK,” ungkapnya kepada WartaBromo.com. (oel/asd)