Kesehatan dan ekonomi menjadi sektor paling terdampak akibat pandemi. Di tengah ketidakpastian kapan situasi ini berakhir, adaptasi menjadi kunci agar tetap bisa bertahan.
Oleh: Asad Asnawi
SEGERA setelah memarkir sepeda motornya, Giant Luca meraih hand sanitizer yang tersimpan di dashboard kendaraannya. Beberapa kali cairan pembersih itu ia semprotkan ke telapak tangannya.
Tak lupa, barang yang dibawanya ia semprot dengan cairan desinfektan. Setelah benar-benar yakin barang yang dikemas cukup rapih itu steril, baru ia serahkan kepada si pemesan. “Biar aman,” selorohnya sesaat setelah menyerahkan barang pesanan itu.
Giant sadar betul. Menjadi driver platform digital penyedia jasa antar membuatnya bertemu banyak orang. Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, tentu hal itu menjadikannya masuk dalam kategori orang dengan risiko tinggi (risti) untuk tertular.
Karena itu, bagi Giant, penerapan standar keamanan kesehatan menjadi protokol yang tak bisa ditawar. “Kan kita tidak tahu orang yang kita temui sudah terpapar atau tidak. Apalagi banyak yang tidak bergejala,” jelas pemuda 25 tahun ini, Senin (19/10/2020).
Pun demikian dengan menjaga jarak. Demi menerapkan protokol, barang yang dikirim biasanya tidak ia serahkan langsung ke tangan pemilik. Melainkan diletakkan di titik atau tempat yang disediakan si pelanggan.
“Kadang cukup ditaruh di teras. Atau di tempat yang ditunjuk customer. Karena terkadang ada juga customer yang menyediakan kotak khusus untuk menaruh barang yang diorder. Jadi langsung disuruh naruh situ,” terangnya kepada WartaBromo.
Kendati terkesan ribet, Giant justru merasa terbantu. Paling tidak, dengan menghindari kontak langsung dengan orang lain, peluangnya untuk tidak tertular lebih terjamin. Begitu juga sebaliknya.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir delapan bulan telah memunculkan ‘tradisi’ baru di kalangan masyarakat. Mereka mulai berdaptasi dengan kebiasaan baru agar tetap produktif.
Hasil studi yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) menyimpulkan adanya perubahan perilaku konsumen dalam bertransaksi. Keberadaan platform digital (GoPay) dipilih guna menghindari kontak langsung, seperti saat bertransaksi tunai.
“Tradisi ini merupakan bagian dari proses adaptasi semenjak pandemi Covid-19 yang telah merenggut ribuan nyawa. Melalui adaptasi yang ketat, masyarakat tetap bisa beraktivitas seperti biasa tanpa khawatir tertular,” tulis laporan LD FEB UI yang dirilis 12 Oktober lalu.
Bukan hanya perubahan laku dalam bertransaksi. Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan adanya peningkatan dalam hal pemanfaatan platform digital untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pada layanan Gojek misalnya. Beberapa layanan yang disediakan mengalami peningkatan traffict antara 36 persen hingga 68 persen. “Masyarakat mulai beradaptasi dengan memanfaatkan platform yang ada. Pada Gofood dan Gopay misalnya, terjadi peningkatan 65-68 persen dibanding sebelum pandemi Covid-19,” lanjut LD FEB UI dalam laporan yang unduh per 16 Oktober lalu.
Laporan penelitian LD FEB UI itu pun diamini Giant. Ia mengungkapkan, sebelum pandemi, orderan yang didapat rata-rata 10-15 dalam sehari. Tapi, semenjak wabah, meningkat hingga 18 kali sehari.
Meningkatnya aktivitas konsumen itu disadari betul manajemen Gojek. Super App terbesar di Asia Tenggara ini pun menyusun sejumlah protokol ‘J3K’ guna menjamin keamanan dan kenyaman konsumen.
Chief Coorporate Affair Gojek, Nila Marita mengungkapkan, J3K merupakan akronim dari Jaga Kesehatan, Kebersihan, dan Keamanan. “Inisiatif J3K ini merupakan upaya Gojek dalam memastikan seluruh ekosistem, termasuk mitra dan pelanggan dapat tetap beraktivitas dan menjalani keseharian dengan produktif,” tulis Nila dalam rilis tertulisnya.