Di sisi lain, langkah gegabah yang dikakukan pihak Akper menjadikan para mahasiswa tak bisa mendapatkan haknya dengan layak. Betapa tidak, kegiatan belajar mengajar yang didapat jauh dari standar.
Permendikbud RI Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) secara detil telah mengatur standarisasi perguruan tinggi. Termasuk untuk program studi (Prodi) Diploma III.
Merujuk ketentuan tersebut, beban studi mahasiswa DIII minimal adalah 108 SKS (Sistem Kredit Semester) yang ditempuh dalam enam semester. Atau tiga sampai empat tahun dalam durasi tahun (Pasal 17).
Semester sendiri, merujuk ketentuan Pasal 15 Ayat 4 merupakan satuan waktu kegiatan pembelajaran efektif selama 16 minggu atau empat bulan. Akan tetapi, kenyataannya, kegiatan semester yang dijalani para mahasiswa ini berlangsung lebih cepat.
“Biasanya satu semester itu kan enam bulan, termasuk libur-liburnya. Ini saya cuma dua bulan,” terang Sueb.
September lalu misalnya, Sueb dan mahasiswa yang lain seharusnya masih dalam tahap pembajaran semester V. “Tapi ini sudah selesai. Cuma dua bulan sudah selesai semester V,” ujarnya.
Padahal, bila merujuk regulasi, semester V seharusnya baru berakhir tahun depan.
Imbas dari ‘percepatan’ pembelajaran ini, Sueb merasa tak mendapatkan apa-apa. Misalnya, putaran praktikum klinik di rumah sakit jiwa yang tidak dilaksanakan. “Tapi, biarpun tidak ada praktikum, kami tetap diminta buat laporannya. Ya terpaksa copy paste,” jelas Sueb.
Huda yang juga merangkap sebagai koordinator AKC di Pasuruan tidak banyak memberi komentar terkait proses perkuiahan yang terkesan jauh dari SNPT itu. “Sekarang kan mahasiswa ‘tertolong’ karena ada pandemi ini. Jadi lebih banyak daring. Kalau dulu ya ada perkuliahan,” kata Huda.
Sementara itu, Wakil Rektor I Unej, Zulfikar saat dikonfirmasi media ini mengaku tak tahu menahu adanya penerimaan mahasiswa Akper Pemkot di tahun 2018 silam. “Saya tidak tahu. Saya tidak bisa komentar karena saya tidak pegang datanya,” ujarnya singkat. (*)