Dari Kemensos misalnya, bantuan diberikan dalam bentuk kartu sembako untuk 42. 667 KPM (keluarga penerima manfaat) serta Bantuan Sosial Tunai (BST) sebesar Rp 600 ribu untuk 15. 000 KPM. Masing-masing bantuan diberikan selama tiga bulan.
Dari Pemprov, bantuan juga diperuntukkan bagi 25 ribu KPM berupa uang sembako Rp 200 ribu. Begitu juga dengan Pemkab Pasuruan untuk 2. 250 KPM. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah KPM yang di-cover melalui DD.
Kepala Dinas Sosial (Kadinsos) Kabupaten Pasuruan, Suwito Adi mengatakan, ada dua sumber data yang dipakai sebagai acuan KPM penerima program. Yakni, DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dan Non DTKS. Ia menyebut, kedua data tersebut dihimpun dari bawah. Mulai dari RT-RW, desa atau kelurahan, lalu disampaikan ke kecamatan sebelum akhirnya diteruskan ke kabupaten.
Dijelaskan Suwito, khusus untuk DTKS, dipakai untuk bantuan yang bersumber dari pusat (Kemensos). Di luar (bantuan Kemensos) itu, sumbernya dari data non DTKS, katanya. Ia bilang, disebut non DTKS karena basis datanya bersifat insidentil. Yakni, data KPM baru dihimpun setelah pemerintah memutuskan untuk memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak pandemi Covid-19 ini. “Dan itu usulan dari bawah,” jelas Suwito.
Persoalannya, sejumlah pihak meragukan keakuratan data sumber bantuan itu. Baik yang DTKS maupun non DTKS. Alasannya, data DTKS yang menjadi acuan Kemensos mencairkan bantuan merupakan data tahun 2018 yang tidak dilakukan validasi sebelumnya.
Keraguan yang sama juga terjadi pada penerima bantuan provinsi yang bersumber dari data non DTKS. Pasalnya, jumlah KPM penerima antara kelurahan dan pedesaan dinilai timpang. Sebuah kelurahan bahkan tercatat sebagai kelurahan dengan jumlah KPM terbanyak di kabupaten. Mencapai 714 orang. Sementara di Desa Alastlogo dan Tampung, masing-masing hanya mencatatkan 2 dan 5 KPM.
“Pertanyaannya, apa iya warga Kelurahan Gempeng lebih miskin dari warga Alastlogo. Gempeng tengah kota lho, ibu kota kabupaten,” kata Malisi, salah satu warga setempat. Sementara Alastlogo, sebagian warganya mengandalkan penghasilannya dari serabutan dan buruh tani.
Lurah Gempeng, Fian mengatakan, sebelumnya, pihaknya memang menerima edaran dari pemerintah untuk melakukan pendataan terhadap warganya guna mendapat bantuan Covid-19. Atas edaran tersebut, pihaknya mendapati 900 KPM yang diperoleh dari RT-RW di lingkungan setempat.
Dari 900 nama KPM yang ia sodorkan, hanya 40 nama yang masuk dalam daftar penerima BST. Nah, ratusan nama tersisa itulah yang kemudian ia ajukan untuk mendapat program JPS dari provinsi. “Dan itu kami pastikan semua layak menerima,” terangnya saat dihubungi melalui telepon seluler.
Bahwa wilayahnya menjadi kelurahan terbanyak penerima JPS, menurutnya karena memang banyak warganya terdampak Covid-19. “Kan macam-macam itu Mas. Ada buruh yang dirumahkan, atau pelaku UKM juga,” terangnya.
Pihaknya tak mengelak, untuk pekerja dan pelaku UKM yang terdampak sebenarnya sudah ada OPD yang menanganinya di luar Dinsos. Akan tetapi, sebagian dari mereka justru tak masuk. Karena itu, pihaknya kemudian memutuskan untuk mengajukannya di program JPS.
Penuturan Fian ada benarnya. Versi Pemkab, jumlah pekerja yang dirumahkan hanya 4000 orang. Sementara data Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) dan juga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Pasuruan, angkanya mencapai 10 hingga 15 ribu lebih.