Oleh: Amal Taufik
WAKTU sudah menunjukkan jam 1 siang ketika Shohibul Busthomi bangun dari tidur yang hanya 4 jam. Matanya masih berat. Saraf-saraf di kepalanya terasa belum singkron. Pandangannya remang-remang dan segala di depannya masih tampak samar.
Seperti biasa, yang pertama kali diraih tangannya adalah ceret air dan android. Ia bangkit, menuangkan air, lalu mengecek android. Sudah ada notifikasi dari aplikasi WhatsApp: 534 pesan belum terbaca.
Di aplikasi WhatsApp, Shohibul Busthomi tergabung dengan banyak sekali grup. Mulai grup berjudul “Pendakwah Underground”, “Komunitas Srigala Hitam”, “Sukses Jadi Pebisnis MLM” dan puluhan grup lainnya. Pernah ia membiarkan grup-grup itu terus berbunyi tanpa membukanya sama sekali selama 4 bulan. Dan, kau tahu, setelah 4 bulan pesan yang harus ia baca jumlahnya lebih banyak dari jumlah penduduk Kota Mojokerto.
Semalam ia menenggak 3 botol anggur merah sendirian. Pada botol ketiga sebenarnya ia ingin mencampurnya dengan setengah liter solar, namun seolah hidayah tiba-tiba datang, keinginan itu batal. Bukan tanpa alasan Shohibul Busthomi ingin segera terbang ke akhirat. Perasaannya sedang kocar-kacir gara-gara peristiwa semalam. Itu setelah ia menyadari, lagi-lagi, salah memilih perempuan.
***
Mereka bertemu secara tidak sengaja, dalam momen yang biasa, dan di tempat yang tidak luar biasa.
Shohibul Busthomi adalah pria asal Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo yang bekerja di sebuah perusahaan agensi di sekitaran Cikini. Tiap hari ia naik komuter dari Stasiun Lenteng Agung lalu turun di Stasiun Gondangdia atau Stasiun Cikini.
Suatu kali, sepulang kerja, Shohibul Busthomi mampir di rumah makan Padang yang tak jauh dari kantornya. Sore itu ia merasa lapar sekali. Di sana ia memesan seporsi nasi padang lengkap dengan sepotong daging rendang.
Rumah makan ramai sekali sore itu. Orang-orang yang ingin membungkus makan antre sampai meluber keluar. Sementara di dalam, meja-meja sudah penuh dan hanya tersisa 1 kursi yakni di depan Shohibul Busthomi.
“Kosong, Mas?”
Suara perempuan menyapanya. Suara itu muncul ketika Shohibul Busthomi sedang kesusahan memotong daging rendang -yang saking alotnya, ia curigai itu adalah irisan sandal disiram kuah rendang.
Shohibul Busthomi mendongakkan kepala, menatap perempuan itu, dan memberi isyarat mempersilahkan perempuan itu duduk.
Perempuan itu berkacamata, mengenakan kemeja flanel dengan dua kancing atas dibiarkan terbuka dan celana kargo dan bertopi warna loreng. Ia memanggul ransel yang sepertinya cukup berat.
“Mas, namanya siapa? Saya Anita. Panjangnya Anita Dewi,” katanya tiba-tiba mengulurkan tangan.
Spontan Shohibul Busthomi menyambut uluran tangan Anita sambil memerhatikan wajahnya. Manis, pikirnya. Kulitnya sawo mentah, wajahnya lonjong, hidungnya agak mancung, bibirnya tipis.
“Saya Shohib. Panjangnya Shohibul Siauw.”
“Serius, Mas? Namanya mirip mualaf yang jadi pendakwah itu.”
“Hahaha… bercanda. Panggil saja Shohib.”
“Baik, Mas Shohib. Omong-omong, mas tinggal di mana?”
“Kebagusan.”
“Tempat kita dekat dong. Saya di Pejaten.”
Begitulah, mereka kemudian langsung akrab seperti kawan yang lama tak bertemu, dan memutuskan pulang bersama hari itu. Sampai di Stasiun Pasar Minggu, Anita turun dan memberikan nomor Ponselnya kepada Shohib. Sejak perkenalan pertama itu, komunikasi mereka terus berlanjut sampai hari-hari berikutnya. Semenjak kenal Anita, Jakarta yang panas dan semrawut, rasanya selalu terlihat terang dan berbunga-bunga di mata Shohib.
Meski masih ada sedikit sisa trauma masa lalu, namun Shohib tak bisa menghilangkan kecamuk teror pertanyaan ‘kapan kawin?’ dari keluarganya di kampung. Bagaimanapun, ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa tahun depan ia harus berhasil menancapkan tombak sejarahnya ke dalam saluran peranakan. Ia berharap Anita benar-benar jawaban atas doa-doanya selama ini.