Rafi merasa pandemi ini banyak menggerus omset travelling bus nya. Dulu, saat belum ada pandemi, 14 bus miliknya sering lalu lalang di jalan raya. Kadang mengantarkan orang berziarah wali, sewa untuk travelling atau yang lain. “Kalau sudah pandemi seperti ini mas, kudu ngerumat akal (harus banyak akal). Bus harus tetap jalan dengan konsep kafe,” ujar Rafi yang ikut nimbung, nongkrong bareng bersama Suryono, Kepala desa Sentul Sugianto, para sekdes dan kru cafe.
Rafi saat itu mengajak Beni, tour leader bus. Di Bus yang didesain café ini, tatanan bangku bus dirombak. WartaBromo berkesempatan untuk tour sejenak. Sembari melihat langsung kondisi dalam bus.
Karena di konsep kafe, dalam bus juga disediakan meja. Ada tujuh meja yang ditata dengan kursi bus dibuat berhadap-hadapan. Di tengahnya tersedia sebuah boks untuk penyimpanan makanan ringan untuk pengunjung. Para penikmat café di bus mendapat paket roti dan satu cup kopi. Mereka juga mendapat fasilitas karaoke, full music dan juga selfi yang sudah di set up di kursi bagian belakang.
Konsep café on the bus ini dibuat mini travelling. Bus bisa mengitari wilayah Kota dan Kabupaten Pasuruan. Start dari depan Stadion Untung Suropati. Rute yang sudah dijalankan selama dua pejan ini adalah mengitari wilayah Terminal Lama ke timur. Menuju Rejoso, Winongan, Gondang wetan sampai kembali lagi menuju Kota Pasuruan atau ke Kebonagung. Kemudian mengitari wilayah kota. Dan finish ke Stadion Unsur.
Rute lainnya bisa juga bus berjalan ke barat. Dari stadion menuju Kraton, PIER, dan mengitari Kota Pasuruan lagi. Bahkan, saat launching kemarin, Bus merah bernama Thalita Bersaudara Ini juga menjajal rute baru. Dari posko Kafe Pintu Langit putar ke belokan Peranem Bangil. Selanjutnya menuju Taman Dayu Pandaan. Dari Taman Dayu menuju ke utara menuju Apollo dan nusa dua Gempol. Hingga finish di Kafe Kopi Langit lagi.
Setiap rute yang dilalui, pengunjung bisa mini travelling sekitar 1,5 sampai 2 jam. Untuk bisa menikmati café on the bus, setiap pengunjung merogoh kocek sebesar Rp 48 ribu. “Ndak sampai Rp 50 ribu, mas,” ujar Rafi sambil terkekeh.
Kafe di atas bus ini juga menawarkan menu yang hampir sama dengan Kopi Langit. Bahkan, kalau misalnya pengunjung mau memesan menu sendiri, pihak bus juga siap menyediakan. Menu khas Kopi Langit yang paling banyak diburu adalah kopi Capucino bergambar. Kopi ini bukan dimasak secara manual. Melainkan sudah tersistem dalam mesin kopi. Sehingga, penyajiannya pun terstel sempurna. Airnya hangat. Ada cap warna bunga diatas kopi coklat ini.
“Banyak orang mengira kalau kita jualan kopi saset. Jadi pakai dituangkan dengan air panas. Makanya tadi banyak yang antre ketika lihat kopi kita cara penyajiannya pakai mesin,” ujar Sigit, sang barista Kopi Langit.
Beberapa pengunjung pun merasa gembira. Karena selain cita rasa kopi yang asyik, kocek yang mereka rogoh pun tidak terlalu dalam. Harga kopi Capucino rata-rata dibandrol dengan harga Rp 10 ribu. Menu makanan ringan pun dengan harga bersahabat. Mulai dari irisan kentang goreng, roti goreng, pisang coklat, burger, dan juga sajian mie. “Enak kopinya. Ndak nyettak,” ujar Sugianto, kepala desa Sentul Purwodadi yang mencicipi kopi Capucino perdana dari Kopi Langit tadi malam.
Setiap malam Minggu, Suryono berupaya menambah hiburan di kafenya. Minimal accoustik di atas panggung sederhana. Seperti yang sudah dilakukan saat launching malam itu. Para pengunjung yang rata-rata muda-mudi merasa asyik dengan sajian musik akustik.
“Tadi ikut antre. Karena luar biasa pengunjungnya. Tapi setelah dapat pesanan, asyik juga bisa duduk lesehan bareng teman-teman sambil menikmati musik akustik,” terang Ika, salah satu pengunjung. (*)