Mengunjungi Pesantren Mandiri Energi di Pasuruan

4280

Ary menerangkan, teknologi yang digunakan untuk menghasilkan biogas cukup sederhana dan murah. Bahan bakunya pun seperti kotoran sapi, sisa tanaman, sisa makanan, dan air limbah mudah didapatkan dan gratis.

Apa yang diresahkan Gus Muhbir 1 dasawarsa silam tentang kotoran sapi yang berserakan di jalan dan di sungai memang benar. Menurut Ary, jika limbah/kotoran dibuang tanpa pengelolaan terlebih dahulu maka akan berdampak pada penurunan kualitas air.

Parameter penurunan kualitas air tersebut umumnya berdasarkan kandungan fecal coli, total coliform, BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand) dan H2S yang terdapat di dalam air tanah/sungai. Air sungai yang tercemar sampah organik biasanya akan berbau tidak sedap. “Ini disebabkan karena naiknya kadar BOD,” imbuh Ary.

Jika kadar BOD tinggi atau melebihi ambang batas, dampaknya adalah tumbuhan atau hewan-hewan yang tumbuh di air akan sulit hidup bahkan akan mati karena kekurangan oksigen. Ary juga memberikan contoh kasus, ada seorang warga yang tinggal di dekat peternakan besar, beberapa sumur di pinggir sungai terkontaminasi dan ribuan ikan ternak warga mati.

Selain itu, lanjut Ary, keuntungan mengelola biogas tak hanya soal menghemat pengeluaran untuk membeli elpiji, tetapi juga bisa bernilai ekonomi. Proses produksi biogas meninggalkan kotoran organik yang diperkaya (digestate), yang merupakan suplemen atau pengganti pupuk kimia untuk tanaman.

Di Ponpes Al Faqihiyah, hal ini telah dilakukan dan manfaatnya sangat terasa. Kotoran sapi yang sudah diserap gasnya akan keluar menjadi kotoran sapi kering. Oleh pesantren, kotoran itu lantas diolah manjadi pupuk organik dan dijual seharga 30 ribu per sak.

“Bapak saya ndak seneng kalau bikin-bikin proposal bantuan gitu. Jadi saya ndak pernah bikin yang begitu-begitu. Apa yang kita punya, kita optimalkan,” aku Muhbir.

Menurut Gus Muhbir, setiap bulan pesantrennya bisa menghasilkan paling sedikit 15 sak pupuk organik. Hasil penjualan pupuk organik itu cukup untuk membantu mendanai pembangunan pondo. Seperti membuat plengsengan sungai, membeli sepeda motor, bahkan cukup untuk membeli sapi tiap tahun.

“Dulu saya pusing kalau lihat kotoran sapi. Sekarang saya pusing kalau tidak ada kotoran sapi,” pungkas Gus Muhbir. (*)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.