Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan. Aksi para pelaku pun tak jarang menimbulkan trauma panjang bagi para korban. Seperti diceritakan Didik Hariono, korban teror yang setahun lebih menjalani rawat inap.
Oleh: Asad Asnawi
JARUM jam baru saja melewati tengah hari, Selasa 5 Agustus 2003 silam. Kala itu, Didik Hariono, yang baru saja menikmati waktu istrihat dan makan siang bermaksud kembali ke kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat.
Sambil berjalan kaki, karyawan sebuah perusahaan penyedia jasa ini melewati depan hotel JW Marriot. Tetapi, belum juga sampai di tempat kerjanya, tiba-tiba saja, blarrrrr! Sebuah bom mobil meledak tepat di depan hotel bintang lima itu.
Sangat keras ledakan itu. Saking kerasnya, tubuh Didik yang berselimut api terhempas hingga beberapa meter dari titik ia berjalan. Sontak, hanya dalam hitungan detik, suasana di pusat kota itu pun berubah mencekam. Panik. Orang-orang berhamburan, berlarian, diikuti teriakan yang saling bersahutan.
Seperti adegan dalam film, dengan kondisi pakaian terbakar, Didik ikut berlari menyelamatkan diri. Sampai kemudian, ia mendengar teriakan orang-orang yang memintanya berguling-guling dengan maksud agar api yang membakar tubuhnya padam.
“Saya akhirnya berguling-guling dan api di tubuh saya memang padam. Tapi, yang di rambut saya masih menyala. Sampai kemudian saya ditolong seseorang yang dengan sapu tangannya memadamkan api di kepala saya,” cerita Didik saat menjadi narasumber pengajian Jalan Terang di Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, beberapa waktu lalu.
Didik melanjutkan, setelah api di tubuhnya padam, ia hanya berbaring di pinggir jalan menunggu pertolongan. Sampai kemudian, sebuah mobil ambulans tiba di lokasi. Setelah itu, tubuhnya yang melepuh itu diangkut dan dibawa ke rumah sakit di kawasan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Pusat.
Tiba disana, suasana di rumah sakit sudah ramai. Orang-orang yang turut menjadi korban ledakan banyak dibawa ke fasilitas kesehatan yang memang berada di paling dekat dengan lokasi kejadian itu. Saking banyaknya, Didik bahkan tak kebagian tempat hingga terpaksa diletakkan di selasar rumah sakit.
Keterbatasan ruangan serta peralatan yang kurang memadai membuat Didik akhirnya dipindah ke Rumah Sakit Pusat Pertaminan (RSPP) di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Apalagi lagi, luka akibat ledakan yang dideritanya itu terbilang cukup parah. Terutama di bagian kepala.
Nah, di rumah sakit milik pemerintah itu, Didik terhitung delapan hari tak sadarkan diri saat menjalani menjalani perawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). “Belakangan, karena peralatan disana kurang memadai, saya dipindah ke Rumah Sakit Pertamina di Jakarta Selatan,” terang Didik.
Delapan hari koma di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat), pada akhirnya butuh waktu bertahun-tahun bagi Didik untuk menyembuhkan luka bakar akibat ledakan bom itu. Tercatat, ia menghabiskan waktu setahun untuk menjalani rawat inap di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. “Untuk rawat jalannya, empat tahun. Bisa dibayangkan seperti apa rasanya saya waktu itu,” jelas Didik.
Selama di RSPP, tercatat dua kali operasi yang dijalani Didik gagal. Pasalnya, kulit baru yang ditanam untuk memulihkan bagian tubuhnya yang rusak akibat luka bakar tak mau tumbuh. Sampai kemudian, seorang ahli bedah plastik yang telah pensiun bersedia menanganinya.
Bagi Didik, luka bakar di tubuh memang bisa sembuh. Tetapi, peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu tak pernah bisa dilupakannya. Hari-harinya diliputi trauma. Didik yang tak ingin terus larut dalam situasi seperti itu lantas memutuskan kembali ke kampung halamannya di Kediri, Jawa Timur. Disana, Didik yang saat peristiwa itu terjadi berusia 28 tahun mencoba beternak sapi, meski akhirnya gagal.