Merdeka Energi: Cerita dari Kampung Terkotor

6284

Di Kabupaten Pasuruan, jumlah sapi perah, sesuai data Dinas Peternakan setempat mencapai 90 ribu ekor. Terbanyak di antara daerah-daerah yang ada di provinsi paling timur Pulau Jawa ini. Karena itu, peluang untuk mengembangkan energi biogas terbuka lebar. Sejalan dengan semangat pemerintah untuk mewujudkan 2.000 kampung mandiri energi.

Kepala Seksi Sumberdaya Kawasan Peternakan, Dewi Ambarukmi mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah bioreaktor terbangun terus mengalami perkembangan.

Terakhir, hasil pendataan pada 2018 silam, tercatat 1.857 unit yang tersebar di 18 desa dan 12 kecamatan di kabupaten. Paling banyak, ada di Kecamatan Tutur dengan jumlah 1.330 unit.

Di desa ini, kehadiran biogas bahkan tidak hanya dipakai keperluan memasak. Tetapi, dimanfaatkan sebagai penerangan melalui lampu petromak. Bedanya, bila di tempat lain petromak jamak dipakai dengan menggunakan minyak tanah, di sini, biogas dimanfaatkan sebagai bahan bakarnya.

Dijelaskan Dewi, pada awalnya, pembangunan biogas lebih banyak dilaksanakan sebagai proyek percontohan. Tetapi, pada perkembangannya, banyak komunitas atau kelompok masyarakat yang kemudian berinisiatif membangun secara swadaya. Di Desa Panditan, Kecamatan Lumbang misalnya. Dari 5 unit digester yang ada, seluruhnya dibiayai secara mandiri.

Dewi melanjutkan, praktik biogas sejatinya sempat coba dilakukan dalam beberapa bentuk model dan bahan baku. Mulai dari urine hingga kotoran kambing. Tetapi, dari serangkaian uji coba itu, pemanfaatan kotoran sapi yang dinilai paling berhasil. “Kambing dan urine pernah kami coba juga. Tetapi, tidak berhasil. Gas yang dihasilkan tak terlalu maksimal,” jelasnya.

Ary Bachtiar, pengamat energi terbarukan dari Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan (PPEB) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan, perkembangan penggunaan biogas di Pasuruan menunjukkan kesadaran masyarakat akan energi ramah lingkungan semakin baik. “Dan itu luar biasa bisa mencapai sebanyak itu,” terangnya.

Dikatakan Ary, sapaannya, kemandirian energi melalui konversi energi menjadi topik utama pemerintah belakangan ini. Ancaman krisis energi seiring dengan makin terbatasnya cadangan energi berbahan fosil membuat pemerintah melakukan percepatan dalam rangka mencari alternatif sumber energi baru dan terbarukan. Salah satunya, melalui biomassa.

Dalam konteks energi kerakyatan, dikatakan Ary, penggunaan biogas memang paling realistis. Hanya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjaga supaya bioreaktor yang telah dibangun tetap terawat dan bisa dipakai terus menerus. “Dan yang paling penting adalah impact-nya terhadap lingkungan,” jelas Ary.

Ary menjelakan, biogas dihasilkan dari sebuah proses fermentasi kedap udara (anaerobic) atas kotoran hewan (sapi) oleh mikroba dalam ruang bioreactor. Proses pembentukan gas dilakukan oleh bakteri anaerob. Nah, komponen utama biogas adalah metana (CH2). Gas inilah yang jika tidak ditangkap pada akhirnya akan berkontribusi terhadap efek gas rumah kaca.

Saat ini, jumlah ternak sapi di Kabupaten Pasuruan mencapai 90 ribu ekor lebih. Menurut Ary, dari jumlah tersebut, total volume kotoran yang dikumpulkan (dengan berat rata rata sapi 400 kg maka menghasilkan kotoran sekitar 30 kg per hari) setiap hari sekitar 2.700 ton kotoran.

Jika dihitung potensi biogas yang dihasilkan sehari bisa mencapai 61.500 m3, maka daya total yang dikandung biogas adalah sebesar 14,8 MW. “Sehingga apabila biogas tersebut dimanfaatkan untuk menggerakkan genset – gas engine dengan efisiensi 25% maka akan menghasilkan listrik sebesar 3,7 MW,” jelasnya. Selain itu, total temisi gas CO2 yang dihasilkan adalah sekitar 50,7 ton per harinya.  ke halaman 5

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.