“Ini sekaligus sebagai desa percontohan pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi energi alternatif. Program ini juga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat dengan pemanfaatan biogas sebagai pengganti LPG untuk kebutuhan memasak masyarakat sehari-hari,” jelas Khayubi.
Di samping itu, biogas juga dapat dikembangkan menjadi alat penerangan (biolistrik) dengan menjadikannya sebagai bahan bakar dari genset. “Masih ada lagi multiplier effect lain dengan adanya biogas ini. Turut menyelamatkan ozon akibat pemanasan global. Mendorong petani untuk memiliki ternak sebagai sumber pupuk dan suplai daging,” tegasnya.
Total 1.857 Bioreaktor Terpasang
Pada sisi yang lain, penggunaan biogas di Kabupaten Pasuruan sejatinya bukanlah hal baru. Diperkenalkan sejak akhir 2009 lalu, teknologi ini mulai diterapkan di Kecamatan Tutur yang merupakan sentra penghasil sapi perah. Proyek itu disponsori SNV, sebuah NGO asal Belanda melalui program Indonesia Domestic Biogas Program (IDBP).
Dengan difasilitasi Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia Kawan proyek yang dikerjakan Hivos, LSM asal Belanda ini diwujudkan dengan membangun bioreactor atau digester di sejumlah titik di Kecamatan Tutur. “Waktu itu hanya ada beberapa saja, karena hanya sebagai percontohan,” kata kepala Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan, Irianto.
Meski tidak banyak dilirik pada tahun-tahun pertama proyek itu dijalankan, belakangan mulai diminati. Hingga saat ini, berdasar data Dinas Peternakan, ada 18 desa di kabupaten yang sebagian masyarakatnya telah menggunakan biogas. “Pada 2016 lalu sudah 1.350 yang terbangun. Kalau sampai sekarang, sudah ada 1.857 bioreaktor,” jelas Irianto.
Irianto mengatakan, salah satu tujuan penggunaan teknologi ini adalah untuk mengembangkan dan mendorong kemandirian energi melalui swadaya masyarakat dalam penyediaan dan penggunaan biogas bagi keperluan rumah tangga. Termasuk, untuk kegiatan industri rumahan.
Dikatakannya, ada banyak keuntungan dari penggunaan biogas ini. Pertama, meningkatnya kesejahteraan di kalangan peternak. Sebagai gambaran, bila sebelum menggunakan biogas para peternak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk konsumsi bahan bakar seperti gas elpiji atau yang lain, kini tidak lagi.
Kedua, petani juga bisa mendapatkan nilai tambah dari pupuk organik yang dihasilkan dari ampas biogas. Ketiga, ikut menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang kotoran sapi ke media lingkungan. Dan, keempat, berkontribusi terhadap pengurangan efek gas rumah kaca. Sebab, tanpa diolah, kotoran sapi yang dikeluarkan akan menghasilkan gas metan yang pada akhirnya terlepas ke atmosfer.
Berdasar data Indeks Statistik Lingkungan Hidup (ISLH) yang diterbitkan Badan Pusat Statisik (BPS) 2019 lalu, sektor pertanian dan peternakan memberi kontribusi cukup besar terhadap emisi gas rumah kaca. Bahkan, menempati nomor tiga setelah energi dan industri. ke halaman 4
Sektor pertanian, kontribusi berasal dari penerapan pertanian yang tak ramah lingkungan. Misalnya saja, penggunaan pestisida berlebihan. Sementara sektor peternakan, salah satunya berasal dari gas terbuang yang dihasilkan dari kotoran ternak.
Pada 2017 lalu, kontribusi keduanya terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 121,6 juta ton. Meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 116,6 juta ton.
Secara nasional, merujuk sumber data yang sama, jumlah populasi ternak sapi mencapai 17 juta ekor untuk jenis sapi potong. Sementara sapi perah, mencapai 550 ribu ekor. Dari angka tersebut, Jawa Timur tercatat sebagai daerah dengan populasi terbanyak. Masing-masing mencapai 4,5 juta ekor sapi potong dan 283 ribu untuk jenis sapi perah.