Merdeka Energi: Cerita dari Kampung Terkotor

6284

Banyaknya sapi di Balunganyar tentu melahirkan permasalahan tersendiri. Terutama, berkaitan dengan limbah kotoran sapi yang dihasilkan. Tentu, akan menjadi persoalan serius jika tidak mampu mengolahnya.

Insiden unjuk rasa yang dilakukan warga Desa Tambak Lekok hampir satu dekade silam adalah contohnya. Keberadaan limbah sapi yang tidak mampu diolah dengan baik berpotensi memunculkan konflik di kalangan warga. Kejadian itu hampir berulang saat musim hujan tiba.

Diceritakan Sholeh, sebuah harapan sempat muncul ketika ia bertemu seorang pengusaha asal Surabaya. Usai mendengar ceritanya perihal melimpahnya kotoran sapi di desanya, sang pengusaha lantas berinisiatif membuat usaha pupuk organik.

Usaha rintisan itu pada akhirnya memang cukup efektif mengatasi persoalan kotoran sapi yang volumenya sangat melimpah itu. Akan tetapi, itu tak berlangsung lama. Hanya bertahan 2-4 tahun lantaran tak banyak mendapat respons pasar.  ke halaman 2

“Awal-awal dulu ya bagus sebenarnya. Tapi karena kesulitan di pemasaran, akhirnya nggak bisa lanjut karena bahan bahan baku banyak, pasar sepi,” ujar Sholeh yang tiga periode menjabat kepala desa ini.

Gagal di usaha pupuk, kotoran sapi pun kembali menumpuk, memenuhi sudut-sudut kampung. Ia pun kembali dipaksa mencari solusi terkait persoalan itu.

Sampai kemudian muncul gagasan untuk memanfaatkannya menjadi biogas.
Pengalamannya menjadi karyawan sebuah koperasi susu menjadikannya sedikit banyak tahu soal teknologi ini. Terlebih, jauh sebelumnya, usaha serupa pernah dilakukan meski tak lagi bisa dipakai karena minim perawatan.

Gagasan itu pun disambut oleh PT. Indonesia Power, pabrikan setrum yang memang berada di Lekok. Melalui program community development-nya, pihak IP membantu Pemdes mengedukasi warga dalam mengurangi dan memanfaatkan kotoran sapi. Sampai kemudian, dua unit digester dibuat sebagai percontohan.

Tetapi, usaha itu pun tak mudah. Kesalahan dalam menempatkan ajaran agama sebagai paradigma berpikir soal kotoran sapi membuat program biogas yang digagas awal dulu tak berjalan maksimal. Sebagian masyarakat berpikiran, bahwa makanan yang dimasak dengan biogas tidak boleh dikonsumsi. Alasannya, bahan bakar yang dipakai memasak berasal dari kotoran.

Dengan dukungan tokoh agama, pelan-pelan, pemerintah desa akhirnya kembali bisa meyakinkan warga. Hingga pada 2016, 2 unit digester dibangun. Bahkan, setahun berikutnya, ada 180 digester model fixed dome dibuat yang merupakan hasil bantuan dari sejumlah pihak. Dan, sebanyak 20 unit lagi di tahun 2018.

Penanggung jawab CSR IP Grati Akhmad Khayubi mengatakan, sebelumnya limbah kotoran sapi memang menjadi persoalan serius di Baluanganyar. Tumpukan limbah yang tak terolah memenuhi badan-badan sungai dan saluran.

“Kalau dari sisi ekonomi, mungkin tidak banyak ya. Tapi, yang paling penting adalah bagaimana mengurangi limbah itu dengan memanfaatkannya menjadi lebih bermanfaat. Akhirnya, dengan dukungan para pihak, kita manfaatkan menjadi biogas,” terang Khayubi kepada media ini.

Khayubi mengemukakan, ide awal pemanfaatan biogas adalah bagaimana mengurangi persoalan limbah kotoran sapi di Balunganyar yang jumlahnya berjibun itu. Dari sana, melalui program community development IP, pihaknya membangun 3 unit digester di tahun pertama pada 2016. Setelah itu, 4 unit setiap tahunnya.

Kini, setelah dua tahun berjalan, sudah ada 23 titik yang dibangun oleh IP. Hingga kemudian, Balunganyar yang sebelumnya dicap sebagai desa terkotor, diganjar sebagai desa paling inovatif oleh Kementerian Desa pada 2018 silam.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.