Konsekuensinya akan sangat kompleks apabila hanya berargumen, bahwa masyarakat selesai dengan ganti rugi. Perlu pertimbangan dampak ekonomi dan sosial masyarakat yang cermat dan diperhatikan secara seksama. Jangan sampai kebijakan pembangunan tol yang “ngawur” malah menyengsarakan kita.
Permasalahan pembangunan infrastruktur tidak hanya selesai dengan ganti rugi lahan tapi lebih dari itu memaksakan pembangunan tol Probowangi di jalur sawah produktif akan membuat petani tercerabut dari akar sosialnya serta kehilangan mata pencahariannya. Ini yang lebih membahayakan karena akan menyebabkan kemiskinan baru.
Harusnya pembangunan tol Probowangi dalam melakukan studi kelayakan dan perencanaan mempertimbangkan selain aspek teknis juga aspek sosialnya, jangan perencanaan yang “sembrono” yang dapat menyusahkan masyarakat.
Padahal apabila kita melakukan kalkulasi dengan cermat dengan memanfaatkan lahan tidak produktif dan lahan Perhutani selain tidak mematikan petani juga dapat mempercepat proses pembebasan lahan dengan biaya yang relatif lebih murah karena aset negara.
Berbeda lagi apabila niat pembangunan tol Probowangi yang mengorbankan sawah-sawah produktif ditujukan untuk melanggengkan pemburu rente (rent seeking) dalam proses pembebasan lahan, di mana anggaran yang besar sengaja dikeluarkan dalam proses pembebasan lahan karena akan dinikmati para pemburu rente.
Sudah menjadi rahasia umum apabila pembanguanan jalan sangat dekat dengan aksi pemburu rente. Apabila ini yang terjadi maka kita mengalami dua kerugian sekaligus, yaitu pembangunan akan inefisien dan berbiaya tinggi serta akan merugikan masyarakat terutama petani. Ini yang harus kita lawan.
Kita tidak boleh menyederhanakan masalah dan malas berpikir dengan mengurangi lahan sawah produktif dengan menggantikannya melalui pencetakan lawah sawah baru. Yang harusnya kita lakukan adalah mempertahankan sawah produktif yang lama sembari mencetak sawah baru agar mimpi kedaulatan pangan dapat diwujudkan. (*)