Satu-satunya yang menurun, adalah pajak air bawah tanah atau ABT. Dari yang semula Rp. 3, 8 miliar pada 2018 menjadi Rp 3, 1 miliar di 2019.
Di sisi lain, tingginya piutang pajak yang belum dibayar memunculkan dugaan adanya praktik fraud (kecurangan).Terlebih lagi, sebagian piutang tercatat sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Dugaan itu mencuat menyusul keberadaan regulasi yang mengatur masa kedaluarsa piutang. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 19 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Daerah.
Salah satu poin yang diatur dalam regulasi ini adalah hilangnya hak tagih Pemkab terhadap piutang di atas umur lima tahun. Dengan demikian, piutang yang lebih dari lima tahun, dengan sendirinya terhapus karena hilangnya hak tagih oleh Pemda.
“Inilah yang menjadi celah terjadinya fraud karena bisa saja wajib pajak sengaja mengulur untuk tidak membayar, toh lima tahun kemudian piutang itu bisa dihapus,” kata Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Atha Nursasi.
Selain itu, kehadiran regulasi itu juga membuka celah terjadinya kongkalikong antara wajib pajak dengan aparat penagih. Modusnya, dengan memperpanjang umur piutang hingga batas kedaluarsa tadi.
“Masalahnya, publik tidak pernah tahu mana wajib pajak yang tidak mampu membayar atau yang sekadar memanfaatkan celah dengan mengulur pembayaran,” jelas Atha.
Atas banyaknya piutang pajak yang belum dibayar itu, menurut Atha, tidak menutup kemungkinan merupakan bagian dari upaya pengemplangan oleh wajib pajak.
“Secara umum memang bisa disebut begitu (mengemplang pajak). Tetapi, apakah itu terindikasi korupsi atau pidana, perlu penelitian lebih lanjut. Kita lihat dulu motifnya,” katanya.
BPK sendiri dalam LHP yang diserahkan Juni lalu, menyebut adanya potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 947, 6 juta lebih. Angka itu merupakan potensi pendapatan pajak non PBB yang kehilangan hak tagihnya karena kedaluarsa (lebih lima tahun umur piutang).
Celakanya, hasil wawancara dengan Sub Bidang Penagihan dan Keberatan, terungkap bahwa BKD tidak pernah menerbitkan surat teguran atau surat paksa terhadap wajib pajak dengan umur piutang lebih lima tahun.
Surat tagihan hanya dilakukan pada piutang dengan periode 2017-2019. Dengan kata lain, wajib pajak dengan umur piutang 3-5 tahun tak pernah ditagih sepanjang tahun lalu.
Itu pun hanya untuk piutang pajak reklame atas 46 wajib pajak, piutang pajak penerangan jalan umun pada 39 wajib pajak dan 37 wajib pajak ABT.
Koordinator Indonesian Corruption Watch Adnan turut angkat bicara terkait tingginya piutang pajak daerah Kabupaten Pasuruan. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran sistem pemungutan yang tak jalan.
“Pemerintah yang harus lebih maksimal melakukan penagihan. Bahkan jika perlu, lakukan upaya paksa,” terangnya saat dihubungi melalui aplikasi percakapan.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Bangil, Deny Saputra menyebut, selama ini, sanksi terhadap penunggak pajak memang lebih banyak pada pengenaan denda dan administrasi.
“Tapi jika teguran atau peringatan diabaikan oleh wajib pajak, bisa saja menjurus ke pidana,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Luly Noermardiono mengakui tingginga piutang pajak daerah pada 2019 lalu.
Menururnya, salah satunya disebabkan adanya peralihan pengelolaan dari KPP Pratama ke Pemda untuk sektor PBB. “Kami menerima peralihan dari KPP itu sudah dengan banyak piutang,” katanya.
Karena itu, pihaknya banyak melakukan verifikasi ulang terhadap pajak terutang. “Termasuk piutang-piutang pajak yang lain. Terus kami tagih,” jelas Luly.