Pajarakan (wartabromo.com) – Pandemi corona membuat banyak orang terpuruk karena usahanya hancur. Termasuk usaha butik milik dua kakak beradik di Kabupaten Probolinggo,. Namun, mereka berhasil bangkit dari keterpurukan dengan beralih ke sektor pangan dengan omset lebih besar.
Dua dara itu adalah Intan Nur Cahya Wahid (27) dan Mira Permata Sari (21), warga Desa Selogudig Wetan, Kecamatan Pajarakan. Keduanya kini berjualan beras kemasan yang dilengkapi bumbu. Itu adalah beras basmati khas timur tengah. Sebelumnya, mereka mengelola konveksi dan butik busana di toko yang bergandengan dengan rumahnya.
“Usaha konveksi dan toko butik saya tutup. Sepi pesanan, karena pandemi Covid-19. Padahal saya harus menghidupi 15 karyawan yang sudah lama bekerja. Saya harus peras otak agar para karyawan itu tetap bekerja dengan penghasilan yang layak,” tutur Intan kepada wartabromo.com pada Minggu, 12 Juli 2020.
Pada suatu waktu ia mendapat inspirasi berjualan beras basmati yang dilengkapi bumbu-bumbu masak. Ketika itu ia melihat kedua orangtuanya, Wahid Nurrahman dan Indah Kurniati, makan nasi Bukhori. Jika ingin mengkonsumsi masakan khas timur tengah itu, sang orang tua harus ke Surabaya.
Intan menemukan ide jual beras kemasan saat dirinya dipercaya menjadi ketua panitia acara skala regional. Urusan konsumsi juga dia tangani. Kebetulan keynote speakernya suka makanan Timur Tengah. Jadi dia berkreasi untuk memenuhinya.
“Papa dan mama itu, penggemar masakan khas timur tengah. Setiap kepengen makan kesukaannya, harus ke Surabaya. Karena disini, tidak ada. Dari situlah saya mendapat inspirasi untuk berjualan makanan khas, namun instan. Dan bisa dinikmati oleh siapapun dan dimana saja,” ungkap dara berwajah manis itu.
Beras kemasan lengkap dengan bumbu itu dikemas layaknya mie instan. Cara masaknya sepeti memasak nasi biasa, tapi airnya dicampur dengan bumbu yang sudah disiapkan. Produk dengan nama Al Fazza itu, memiliki 5 varian rasa yang unik, yakni Bukhari, Kabsah, Biryani, Mandy, dan Kebuli.
Bentuk berasnya berukuran kecil, tapi panjang dan tidak bisa ditanam di Indonesia. Karenanya Intan mengimpor beras itu, secara langsung ke India. “Saya mengimpor beras dan sebagian rempah-rempah dari India,” tambah lulusan S-2 ini.
Alih usaha yang berlangsung sejak 2 bulan lalu itu, membuahkan hasil. Intan dan Mira tak jadi mem-PHK ke 15 karyawan. Selain tetap membuat dapur pekerjanya mengebul, kocek dua gadis lajang itu juga menebal. Dalam sebulan, omset penjualan beras basmati instan itu mencapai Rp150 juta. “Syukur sekali tidak sampai terjadi PHK,” timpal Mira.
Omset yang mencapai ratusan juta rupiah itu, didukung oleh promosi masif, utamanya di media sosial. Mira mengatakan, media sosial sangat memberikan pengaruh bagi bisnisnya. Dari situlah pangsa pasarnya mulai bermunculan. Jualannya via online. Bahkan, Mora dan Intan tidur habis Subuh untuk promosi produknya.
“Reseller saya dari berbagai daerah, hampir di semua daerah di Jawa Timur ada, bahkan di luar provinsi pun ada, seperti Sumatera, Kalimantan, Jakarta, dan NTT. Sudah ribuan kemasan yang terjual, bahkan hingga Malaysia,” dara berusia 21 tahun itu.
Menurutnya, inovasi dan kreativitas sangat dibutuhkan pengusaha UMKM saat pandemi seperti sekarang ini. “Saya mengajak UMKM lain ikut semangat. Iovasi dan kreativitas kita harus dimunculkan. Saya sengaja tidak menjual masker meski usaha saya awalnya konveksi. Sebab sudah banyak yang jual masker,” ajak Mira.
Ketersediaan beras instan aneka rasa, sangat disyukuri oleh Abdul Jayex Jalil, warga Desa/Kecamatan Krejengan. Dengan latar belakang keluarga berbasis pesantren, ia mengenal masakan khas timur tengah sejak kecil. Ia pun menyukai nasi bukhori dan kebuli. Tetapi selama ini, beras yang digunakan adalah beras lokal.
“Rasanya beda dengan masakan yang biasa saya nikmati selama ini. Nasinya ini lebih kenyal dan lebih gurih. Kalau bumbunya mungkin sama, ya. Tapi ini lebih nikmati,” tutur Jayex.
Selain lebih gurih dan nikmat, kepraktisan cara memasaknya menjadi nilai tersendiri. Biasanya, untuk mengolah masakan khas timur tengah, perlu keterampilan khusus dan waktu lama. “Bagus, bisa dimasak cepat, sangat praktis. Kalau saya melihat Umik memasak nasi kebuli, cukup lama dan kasihan juga,” ungkap alumni Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo itu. (saw/ono)