Jip menjadi salah satu transportasi wisata utama di kawasan Bromo. Namun, sejak penutupan destinasi wisata, ratusan pengemudi jip wisata kolaps. Agar tetap bertahan (survive) hidup, seorang sopir menyulap kendaraan berpenggerak empat roda atau 4×4, menjadi tempat mlijo alias toko pracangan berjalan.
Laporan S. Adi Wardhana, Probolinggo
HAMPIR 3 bulan lamanya, Didik Handoko tak mendapat pemasukan dari aktivitasnya sebagai sopir jip Bromo. Beberapa waktu, ia seperti tak bisa produktif. Lebih-lebih domisilinya di Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo cukup terpencil. Jalan rusak dan terjal membuatnya kesulitan. Semakin menambah penderitaan dalam masa pandemi corona.
Namun, akses jalan yang cukup sulit, seakan membuat warga terisolasi, sepertinya menjadi peluang tersendiri bagi Didik.
Ia pun menyulap kendaraan 4×4 miliknya menjadi toko pracangan berjalan alias mlijo. Aneka kebutuhan hidup masyarakat sekitar pun disediakannya.
Selama ini warga Dusun Puncak Sari yang mau belanja harus turun ke ibu kota Kecamatan Lumbang. Itu pun dengan perjuangan setengah mati. Dibutuhkan nyali dan niat yang kuat selama menempuh perjalanan dan kembali pulang. Bahkan di musim hujan, warga harus memodifikasi ban dengan tambahan rantai agar tidak selip dan bisa melaju ke Dusun Puncak Sari.
“Akses jalan di sini cukup sulit. Kalau tidak punya kendaraan 4×4 cukup sulit untuk belanja ke pasar di Lumbang. Yang penting kita berusaha, bagaimana hasilnya nanti, serahkan kepada Allah SWT,” kata Didik Handoko saat ditemui di Dusun Puncaksari beberapa waktu lalu.
Warga Dusun Puncaksari, kata Didik, selama ini mengandalkan hasil pertanian. Dalam setahun ada 2 kali panen dari kentang. Jika hasil panennya tidak bagus, perekonomian tempat ini melesu. Karenanya hasil panen kentang itu, harus mencukupi selama setahun.
Didik sendiri memang dikenal oleh sebagian para pecinta kendaraan 4×4 sebagai salah satu anggota Taft Diesel Indonesia (TDI), sehingga ia pun sudah dikenal di daerah di Jawa timur. Bahkan, dari kendaraan ini pula ia melakukan touring ke Yogyakarta dan Bali pada tahun 2017 dan 2018 silam.
Tidak hanya dikenali sebagai pecinta kendaraan 4×4, ia dikenal juga sebagai salah satu penyedia jasa jip di kawasan Gunung Bromo. Namun, karena destinasi wisata tutup, perekonomian Didik juga berubah. “Kehidupan terus berjalan, bagaimana kita harus survive di kondisi apapun,” tuturnya.
Karena penutupan yang sudah terlalu lama itu, akhirnya ia memutar otak agar perekonomian keluarganya stabil. Salah satu caranya yakni dengan menyulap kendaraan 4×4-nya untuk dijadikan rak sembako. Tidak hanya sembako atau kebutuhan rumah tangga, gas elpiji sekalipun, dibawa dan ditaruh di bemper depan. “Ya kalau istilah orang sini ider, bisa juga disebut mlijo,” kata bapak dua anak itu.
Tak ada rasa malu bagi Didik untuk menjalankan usaha barunya itu. Apalagi usaha yang dirintisnya sejak sebulan terakhir itu, dilakukan bersama sang istri, Yuni. Untuk mengisi isi barang di mobilnya, Didik harus kulakan ke Pasar Lumbang.
“Anak di rumah, kadang juga ikut ke Lumbang. Kulakan ke sana, jadi apa yang kosong itu kita beli, kalau ada pesanan dari pelanggan ya kita belikan,” terang Didik.
Untuk sekitar Puncak Sari, dijadwal sebanyak 3 atau 4 kali dalam seminggu. Mengingat akses jalan ke desa yang berdekatan dengan wisata Bukit Kembang tersebut sangat terjal. Selain jalan, kondisi kendaraan juga menjadi pertimbangan Didik.
Pemandu wisata ini mengaku aktivitas ider-nya ini akan terus dilakoni selama wisata Gunung Bromo masih ditutup. Ia berharap pandemi corona segera berakhir, agar semua sektor kembali normal. “Selama kondisi seperti ini, ya kita terus lakukan, mengalir saja, Mas. Agar semuanya juga normal, termasuk di sektor wisata,” tandasnya. (*)