Oleh: Asad Asnawi
PEKAN lalu, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup. Tepatnya tanggal 5 Juni. Hanya saja, pandemi yang terjadi menjadikan peringatan moment ini tak seperti biasanya.
Pertama kali, peringatan Hari Lingkungan Hidup ditetapkan 5 Juni 1974. Tanggal ini diperingati untuk menciptakan kesadaran global tentang masalah lingkungan hidup yang dihadapi dunia.
Momentum ini sekaligus sebagai upaya untuk mengajak semua orang untuk bersama-sama memproteksi planet bumi, pemanfaatan sumber daya alam, dan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Tentu, upaya yang dimaksud bukan sekadar seremonial belaka. Karena persoalan lingkungan tak hanya butuh upacara, tapi juga aksi nyata.
Semua orang. Bukan cuma sekelompok orang. Apalagi satu dua orang. Semua jenis profesi. Mau advokat atau pejabat. Mau politisi atau polisi.
Karena menyelamatkan lingkungan, menjaga sumber daya alam, bukan untuk hari ini semata. Tapi, esok hari. Esok ketika kita sudah mati. Ketika laku hidup dilanjutkan generasi penerus nanti.
Inilah persoalannya. Acapkali kita gagal fokus. Memburu rutinitas kegiatan untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup, hingga melupakan persoalan yang lebih substansial.
Karena itu, di tengah usaha untuk saling mengingatkan betapa lingkungan tempat kita berdiam butuh uluran tangan, peringatan Hari Lingkungan Hidup tak ubahnya menjadi catatan merah atas banyaknya kasus lingkungan yang tak kunjung tuntas.
Tak perlu jauh-jauh bagaimana kasus-kasus dugaan pelanggaran lingkungan di Indonesia. Di Kabupaten Pasuruan, sejumlah kasus pelanggaran lingkungan mangkrak hingga kini. Mangkrak karena tidak ada respons. Atau mangkrak karena tidak jelas jluntrungannya.
Di sektor pertambangan, aktivitas galian tambang ilegal di Bulusari tak pernah tersentuh. Meski kegiatan itu sudah berlangsung bertahun-tahun, pemerintah-aparat seolah menutup mata.
Otoritas publik yang dipercayakan kepada dua instansi itu seolah tidak ada gunanya. Karena nyatanya, kegiatan penambangan yang sama sekali tak berizin terus saja berlangsung.
Masih di sektor pertambangan, keputusan pemerintah yang begitu mudah menyetujui tukar guling hutan di lereng Gunung Penanggungan untuk tambang sirtu juga memunculkan keraguan akan komitmen pemerintah terhadap perlindungan kawasan hutan.
Pada penanganan kasus pencemaran, kondisinya juga kurang lebih sama. Beberapa kasus dugaan pencemaran, sangat jarang berujung pada proses peradilan.
Data WartaBromo.com, setidaknya ada dua kasus dugaan pelanggaran lingkungan yang tidak jelas cerita akhirnya. Pertama, kasus dugaan pencemaran Kali Baujeng. Dan, kedua, dugaan pembuangan limbah cair oleh pabrik Tango di media terbuka. Satu kasus yang disebutkan terakhir, bahkan sudah masuk ke kepolisian.
Di luar itu, ada satu kasus yang masih erat kaitannya dengan perlindungan lingkungan, tapi hingga kini tak jelas ceritanya. Yakni, kasus jual beli satwa lindung.
Sebagai catatan, kasus yang menyeret SU, warga Kecamatan Pandaan sebagau tersangka ini sempat dirilis oleh polisi. Jelang akhir tahun lalu. Dengan dihadiri awak media. Tetapi, kelanjutan kasus tersebut seolah hilang terbawa angin.
Melalui Sistem Informasi Penelurusan Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Bangil, media ini sempat melakukan penelusuran. Tetapi, hasilnya nihil. Kasus tersebut belum pernah masuk ke pengadilan.
Begitulah kira-kira. Saat sebagian orang sibuk berseremoni untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup, bagi saya, mementum ini sekaligus mengingatkan betapa komitmen perlindungan lingkungan itu hal yang sulit. (*)