Fase kenormalan baru, jangan-jangan kian membunuh.
Oleh Tuji Tok
TIBA-TIBA jadi kepikiran istilah new normal di masa pandemi kali ini.
Padahal, hanya gara-gara menemukan gambar suasana dalam bus yang nyantol di aplikasi google foto.
Gambar itu menunjukkan kondektur tengah berdiri, sibuk tarik karcis. Sementara beberapa penumpang duduk manis berduaan, ada yang sendirian, bertiga, menjubeli bus.
Seingat saya, foto itu asal jepret saja. Saya ambil ketika hendak ke Cowek di Kecamatan Purwodadi pada Minggu, 15 September 2019 lalu.
Lha emang apa hubungannya bus dengan new normal?
Itu dia, saya juga bingung kenapa kok bisa dihubung-hubungkan. hehehe..
Jadi begini.
Pikirannya kali ini langsung tertuju -jika berdamai dengan corona- bagaimana nanti sarana transportasi beroperasi.
Semua pada tahu kan, sekarang lagi musim pembatasan, selain dianjurkan berperilaku bersih dan sehat. Protokol kesehatan. Iya, ndak salah, protokol kesehatan.
Kemudian, Pemerintah Indonesia juga sudah putuskan akan melanjutkan hidup dan penghidupan dengan tetap berdampingan bersama corona. Tapi syaratnya ya itu tadi, harus terapkan protokol kesehatan. Jadi meskipun nekat, tetap kudu mau ikuti anjuran, kalau ingin terhindari virus.
Seperti sedikit disinggung, pada fase kenormalan baru ini: masker, jaga jarak, dan perilaku bersih, jadi prinsip untuk tetap dilakukan. Itu wajib kalau mau berdamai dengan corona.
Nah, bus bomel yang terjepret itu mengingatkan kita, adakah pembatasan? terus sampai sejauh mana pembatasan dilakukan.
Maksudnya, kira-kira berapa sih penumpang yang dibolehkan diangkut?
Kalau dalam kondisi “old normal”, penumpang bisa 50-60 orang, lha sekarang harusnya berapa? 10, 20, 30 orang kah. Atau disesuaikan dengan jumlah baris 10 sampai 11 bangku dalam bus. Kalau melihat bangku, sepertinya penumpang harus di kisaran 20-an.
Masalahnya, dengan jumlah penumpang terbatas itu apakah mampu menutup modal usaha? Emang dengan jumlah armada yang dimiliki, lalu diharuskan ada penumpang terbatas itu, perusahaan dapat untung?
Ini yang mungkin perlu dipikirkan. Jangan sampai perusahaan otobus gulung tikar, karena tak mampu beli bensin, tak bisa beli ban, tak kuat merawat kendaraan, atau malah nanti ndak mbayari tenaga administrasi. Kan repot.
Belum lagi pengawasan praktik new normal dalam bus. Adakah jaminan tak ada pelanggaran melampaui batas atas jumlah penumpang. Bagaimana kalau ada pelanggaran? Adakah sanksi.
Tentu banyak lagi pitakon yang bisa ditulis, terhadap kenormalan baru dalam angkutan ini.
Hal tersebut pastinya berlaku tak hanya bus, melainkan jenis angkutan umum lain. Macam ojek motor, kereta api, kapal mabur, kapal laut, pokoknya angkutan di darat, laut, dan udara lah.
Memang, saya tidak dalam konteks memberi usulan. Cuman ingin mengingatkan, bahwa dalam satu sektor saja, penerapan new normal yang digagas ini sudah bikin otak berpikir keras, bagaimana perusahaan jasa angkut dipacu tetap bergerak melaju, di samping kebutuhan transportasi warga pun tetap terpenuhi.
Lamunan serupa malah juga pada dunia pendidikan. Itu siswa jadinya berapa anak yang kudu belajar di dalam kelas? Protokol menyebutkan tiga hal (masker, jaga jarak, dan bersih) lho yaa..
Barangkali mirip dengan bus bomel, kapasitas bangku-meja kelas berapa. Apakah tinggal nanti dikurangi, separuh misalnya.
Tapi, siswa lain yang ndak di kelas bagaimana. Apa, enaknya yang sebagian itu libur atau kah pakai sistem shift kayak karyawan pabrik. boleh kah?
Ada lagi yang mirip dan bikin mikir, yakni new normal di pondok pesantren. Salah satu yang perlu disorot, santri tidur di asrama pondok tuh nantinya gimana?
Ada kan pondok pesantren yang menyediakan ruangan khusus buat istirahat santri dan ngaji. Santri-santri ini biasanya tidur kruntelan.