#indonesiamemangterserah
Oleh: Asad Asnawi
SEJUJURNYA, saya agak ciut nyali menuliskan uneg-uneg ini. Tetapi, apa boleh buat. Karena negara (baca; penguasa) harus pula belajar mendengar. Negara harus mau menerima kritik.
Bukan hanya mendengar bisikan orang-orang sekitar. Tapi, juga suara jutaan rakyat yang terancam lapar.
Boleh jadi, tidak semua suara itu memang bisa diterima. Tetapi, bukan laku bijak pula mengabaikannya.
Kita semua tahu. Tudingan negara tak begitu serius menangani Covid-19 nyaring sejak kasus positif pertama terjadi. Oleh sebagian orang, pemerintah dianggap gagap.
Alih-alih menyiapkan skenario matang untuk menghadang, pemerintah justru mengumbar insentif agar orang-orang mau datang.
Padahal, pada saat yang sama, negara-negara lain sudah mengeluarkan kebijakan travel warning di tengah ancaman Covid-19 yang terus merebak. Sikap tersebut terus bertahan sampai muncul dua kasus pertama di Depok.
Sayangnya, lagi-lagi, apa skenario pemerintah untuk menutup laju penyebaran virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok ini tak kelihatan. Satu-satunya narasi yang dikembangkan adalah membangun kesadaran publik untuk menjaga jarak, rajin cuci tangan dan menggunakan masker.
Celakanya, imbauan pemerintah untuk menjalankan protokol kesehatan tak berjalan efektif. Simpul-simpul keramaian masih terlihat padat. Imbasnya, angka kasus positif terus meningkat.
Lagi-lagi, pemerintah pun kembali dibuat gagap. Di tengah desakan untuk melakukan lockdown lantaran grafiknya yang kian menanjak, pemerintah justru mengabaikannya dengan memilih menerbitkan aturan baru perihal PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi nasional, Presiden Jokowi menyebut PSBB sebagai jalan tengah. “Coba kasih contoh negara mana yang berhasil dengan kebijakan lockdown,” kata Sang Presiden mencoba berdalih kala itu.
PSBB sangat mungkin menjadi opsi rasional jika masyarakat kita memiliki kedisiplinan yang tinggi. Kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya. Angka Covid-19 secara nasional terus mendaki. Menembus 25 ribu kssus.
Sayang, di tengah penerapan PSBB yang gagal total, pemerintah justru melontarkan wacana baru. Berawal dari ajakan untuk berdamai dengan Covid-19, pemerintah jargon baru dengan sebutan new normal. Atau jika dibahasakan ke Indonesia, kira-kira yang dimaksud adalah normalitas baru.
Seperti apa bentuknya, apa yang perlu diperbarui, saya kurang mengerti. Sepanjang yang saya tahu, pandemi yang terjadi belakangan diakui atau tidak telah menghadirkan kebiasaan baru. Sebut saja misalnya, mencuci tangan, mengenakan masker hingga jaga jarak.
Jadi, new normal yang dalam sepekan terakhir ramai dibicarakan, sejatinya bukan sesuatu yang baru. Dengan kata lain, jika kembali pada bagaimana strategi dan skenario pemerintah menghadang penyebaran Covid-19 ini, juga tidak ada yang baru. Kira-kira begitu cara berpikirnya.
Belum lagi jika ajakan ‘berdamai’ itu disandingkan dengan slogan ‘lawancorona’ yang sebelumnya banyak didengungkan. Dimana titik perlawanan itu harus berakhir, kita tak pernah tahu. Tiba-tiba saja pemerintah mengajak ‘berdamai’.
Terus terang, secara pribadi, saya kebingungan mengikuti cara berpikir pemerintah soal ajakan berdamai dengan ‘new normal’ nya itu. Jika new normal adalah pelonggaran PSBB dengan penekanan kepatuhan pada protokol kesehatan, bukannya imbauan itu sudah dilakukan dari dulu?
Strategi yang berubah-ubah, disertai kurva kasus positif yang terus meningkat menguatkan kesan bahwa pemerintah tidak punya skenario matang menghadang virus ini.