Di sudut lain, para pakar al-Quran terlihat sedang sibuk memberikan konsultasi gratis kepada pengunjung dari mulai masalah keluarga sampai peneliti dan mahasiswa yang akan mengambil tugas akhir. Menurut keterangan, ada lebih dari 21 ribu makalah digital tentang al-Quran yang bisa diakses oleh pengunjung.
Kalau saya sendiri sangat terkesan di bagian lorong kaligrafi. Di tempat inilah berkumpul para seniman kriya dengan berbagai kemahiran mereka. Maskipun semua bertolak dari seni kaligrafi, namun setiap stand memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan media yang mereka gunakan menambah kekayaan serta keindahan tampilan kaligrafi.
Di Indonesia, kaligrafi yang ditulis di atas lembaran kertas, kulit, kayu, bahkan keramik, mungkin sudah biasa dijumpai. Tapi sungguh menarik melihat bagaimana ayat-ayat al-Quran itu dirajut dalam karpet buatan tangan.
Iran memang terkenal dengan corak karpetnya yang khas. Apalagi, karpet yang terbuat dari benang sutera. Harganya selangit.
Warga memang banyak yang menggunakan karpet buatan pabrik di rumah-rumah mereka. Tetapi, untuk hiasan dinding, karpet motif kaligrafi hand made masih menjadi pilihan.
Keunikan lainnya, lafaz-lafaz bahasa Arab itu diukir dalam media yang tidak biasa seperti beras, bunga pinus, dan batu garam. Hasil kerajinan ini bisa dibeli dan dipesan oleh para pengunjung. Harganya masih ramah di kantong, kecuali karpet hand made yang menurut saya memang kelewat mahal. Tapi melihat-lihat saja sudah membuat mata segar hingga kadang tak sadar hari mulai gelap.
Menjelang azan magrib, para pengunjung berhamburan ke pelataran kompleks. Duduk santai sambil menanti pesanan takjil. Inilah momen yang paling dirindukan. Suara bacaan al-Quran beradu dengan tawa ceria anak-anak yang berlarian. Angin musim semi bertiup lembut dan bulan di atas langit jingga yang mulai mengintip. Semangkuk sup ash menemani kami berbuka. Ash adalah makanan pembuka iftar, terbuat dari sayuran dan kacang-kacangan. Cara memakannya dengan ditabur bubuk mint dan susu asam.
Senja yang syahdu di pelataran kompleks Mushalla, kini hanya menyisakan kenangan dan kerinduan. Tahun ini festival al-Quran tidak digelar. Sebagai gantinya, untuk mendukung penanganan covid 19, masjid-masjid beralih fungsi menjadi rumah sosial, termasuk kompleks Mushalla Imam ini.
Para relawan bahu membahu menggalang dana dan menyalurkan bantuan bahan pokok kepada mereka yang kurang mampu. Selama bulan Ramdan, gerakan ini semakin terus ditingkatkan.
Bahkan, beberapa ruangan yang ada digunakan sebagai tempat produksi berbagai alat kesehatan, mulai dari pakaian APD, masker, hand sanitizer, dan sebagainya.
Menurut seorang teman yang terjun langsung sebagai relawan, gerakan ini dilakukan serentak di berbagai wilayah di Iran. Pengaruhnya cukup terasa di tengah masyarakat. Masker yang pada awal pandemi cukup langka, sekarang dengan mudah dapat diperoleh di berbagai tempat dengan harga murah.
Berbagai kemeriahan festival al-Quran memang tidak lagi dapat dinikmati. Tetapi, keindahan berbagi di tengah Covid-19 juga akan menjadi memori yang indah. Bukankah membantu sesama, merupakan salah satu ajaran al-Quran yang paling nyata. (*/asd)
Catatan: Penulis merupakan traveller tinggal di Teheran dan Penulis buku The Road to Persia.