“Bantuan sembako juga tidak akan membuat warga mandiri secara jangka panjang.”
Oleh : Laksamana Fadian Zuhad Ramahdan*
PANDEMI global COVID-19 saat ini menimbulkan dua masalah utama, yakni: terbatasnya persediaan bahan pokok dan PHK massal. Kebutuhan bahan pokok dasar seperti obat-obatan hingga kebutuhan nutrisi disebabkan atas matinya lintas perdagangan internasional serta panic buying yang sulit dikontrol di tengah ramadhan dan PSBB.
Panic buying diperparah dengan dekatnya bulan Ramadhan yang tiap tahun ditandai dengan naiknya harga pangan dan kebutuhan pokok. Tidak heran apabila komoditas seperti bawang putih yang 100% berasal dari impor menjadi sangat langka pada beberapa bulan pertama. Hal serupa juga terjadi pada komoditas herbal seperti jahe yang naik menjadi Rp 90.000 dari kondisi normal yang hanya Rp 30.000/kg.
Selain itu, masalah PHK massal disebabkan karena kerugian industri yang tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Sebagian besar pekerja kasar yang diberhentikan/diliburkan pun tidak dapat melakukan WFH sehingga merusak finansial rumah tangga mereka.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai 2,8 juta. Konsekuensinya, resensi ekonomi sesuai prediksi Sri Mulyani berpotensi terjadi. Food and Agriculture Organization PBB pada 28 April pun juga memperingatkan potensi krisis pangan sehingga pak Jokowi memerintahkan pencetakan sawah secara masal oleh BUMN.
Setelah menilik beragam solusi yang paling menjanjikan, saya dapat berkesimpulan bahwa pemanfaatan lahan gambut sebagai sawah akan sulit diimplementasikan karena tingginya PH lahan disana. Bantuan sembako kepada korban PHK juga tidak akan membuat mereka mandiri secara jangka panjang. Begitupun pula operasi pasar yang tidak dapat menampik fakta defisit produksi dan terbatasnya akses impor.
Berpijak dari dua permasalahan yang saling berkaitan, saya berani berpostulasi bahwa pekarangan dan tanah ulayat di tiap desa layak dipilih sebagai objek solutif dikarenakan perannya yang telah menyokong masyarakat desa untuk sehat dan sejahtera antar generasi tanpa menggantungkan anomali harga pasar seperti cabai hingga komoditas tanaman TOGA (tanaman obat keluarga; contoh: jahe dan sirih).
Tidak heran apabila pekarangan disebut sebagai “apotek hidup dan terguraval basis (pertahanan terakhir)”, yang sebagai contoh berguna untuk memproduksi herbal dalam meningkatkan imunitas masyarakat yang rentan terhadap penyakit komorbid COVID-19.
Pekarangan juga relatif mudah dirawat mengingat bahan pupuk bisa didapatkan dari sisa bahan dapur dengan rantai distribusi pendek. Sebagian besar mahasiswa dan buruh kota telah pulang kampung ke tempat asal masing-masing. Mereka tidak memiliki pemasukan aktif karena minimnya sumber bisnis di desa. Sehingga, kehadiran mereka dapat menjadi surplus SDM untuk bersama menghidupkan pekarangan dan tanah ulayat.
Namun, pemanfaatan tanah terbengkalai itu masih memiliki tantangan karena minimnya modal hingga metode pemanfaatan yang seadanya tanpa memperhatikan karakteristik tanah. Sehingga, saya mengusulkan ke pemerintah untuk mengimplementasikan analisis pemanfaatan lahan dengan sensor dan mapping potensi desa.
Tujuan dari implementasi tersebut yakni untuk meningkatkan produktivitas pekarangan dan tanah ulayat agar setiap desa dapat memiliki komoditas unggulannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat lokal hingga pasar nasional. Usulan saya dapat diimplementasikan setidaknya dalam 3 tahap seperti berikut: