Amerika Serikat- Seperti di banyak negara lain, masjid-masjid di Amerika Serikat identik dengan ramainya kegiatan saat Ramadan. Dari buka dan sahur, hingga mendengarkan tausiah bersama. Tapi, pandemi yang terjadi saat ini mengubah segalanya.
Masjid-masjid menjadi sepi menyusul anjuran pemerintah dan juga pemuka agama Islam setempat untuk beribadah Ramadan di rumah masing-masing.
Kondisi itu membuat Awais Malik, seorang muslim asal Pakistan di Germantown, Maryland, merasa sedikit kecewa dengan suasana Ramadan tahun ini.
Baginya, Ramadan menjadi saat yang tepat untuk menjalin silaturahmi dengan teman-teman sesama Muslim. Alasan itu pula yang membuatnya kerap menjadikan Ramadan sebagai masa cuti tahunannya.
Karena itu, kali ini, jatah cuti tahunannya pun tak diambilnya. “Saya tidak mengambil cuti tahunan Ramadan ini. Percuma, karena saya tidak bisa ke luar rumah, dan saya pun saat ini masih diharuskan kerja dari rumah,” kata Malik.
Malik menyadari, keadaan seperti itu semula dirasa sulit. “Tapi kemudian saya berusaha membiasakan diri. Perlu waktu bagi saya untuk membiaskan diri,” lanjutnya.
Pada saat Ramadan seperti sekarang, hal yang paling dirindukan Malik adalah tarawih bersama. Ia merasa tidak puas dengan hanya salat tarawih sendirian.
Pemuda lajang yang sehari-hari bekerja sebagai akuntan ini merasa kebijakan pemerintah terkait social distancing sangat memberatkan. Tetapi, ia bisa memaklumi.
Nah, agar ia tetap bersemangat melalui Ramadan, ia sesekali bersembayang tarawih bersama keluarga dekatnya. Serta mendengarkan tausiah lewat aplikasi Zoom dari masjid yang biasa dikunjunginya.
Imam Suetwedien Muhammad dari Masjid Muhammad di Washington DC mengatakan, ada banyak hikmah dari diterapkannya social distancing imbas pandemi ini.
Umat Islam, kata dia, akan memiliki waktu yang lebih khusyuk untuk menjalankan ibadah Ramadan bersama keluarga.
“Beroperasi atau tidaknya sebuah masjid, atau ada tidaknya masjid di sekitar kita, itu tidak menghapus kemungkinan kita untuk beribadah. Tidak menghapus kemungkinan kita untuk bersujud syukur kepada Allah, berpuasa, dan menjalankan ibadah lainnya,” kata Muhammad.
“Kita masih bisa menjalankan ibadah Ramadan meski tidak berada di masjid. Justru dalam suasana seperti sekarang, Anda bisa lebih khusuk melakukan ibadah ramadan. Tidak harus memikirkan buka puasa dengan apa besok, siapa teman yang akan kita kunjungi, memikirkan pakaian apa yang akan dikenakan pada hari raya nanti. Semuanya dalam kesederhanaan dan itulah hakikat Ramadan,” lanjutnya.
Agus Baltazhar, seorang warga Amerika asal Indonesia yang sudah 20 tahun berprofesi sebagai penata rambut di Washington DC, mengamini pernyataan imam masjid itu.
“Agak sedih sih. Tapi memang lebih khusyuk, dan lebih banyak waktu karena tempat saya bekerja tutup. Saya jadi lebih sering membaca al-Quran dan melakukan sebahyang sunnah,” kata Agus.
Sarah Faukar, seorang Muslim imigran dari Jerman, yang sedang menyelesaikan pendidikan S-3 di Universitas John Hopkins di Baltimore, juga sepakat dengan pendapat Agus.
Ia mengatakan, Ramadan –dan seringkali juga peringatan-peringatan terkait agama lain– sering dikomersialisasikan. Kini, katanya saatnya umat Muslim merenungkan kembali hakikat Ramadan, yakni pengorbanan dalam wujud berpuasa.
Menurut dia, Ramadan merupakan kesempatan bagi umat Muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada keluarga dan Islam, serta merenungi betapa indahnya Islam.
Tidak semua masjid di Amerika Serikat menutup kegiatan rutinnya selama Ramadan. Beberapa masjid didapati sempat melangsungkan kegiatan ibadah bersama, meski pada akhirnya mendapat teguran dari pemerintah dan kecaman dari komunitas sekitar.