Tertular Corona

2446
Semua terlebih dulu kudu menyepakati, bahwa corona bukan soal matematika dan tidak juga perbandingan sebuah data. Ada 1 saja pasien confirm, sebenarnya sudah jadi bencana.

Oleh Tuji Tok

JUMLAH pasien positif Covid-19 kian hari bikin jantung berdegup kencang. Mirip naik rollercoasterĀ lah.

Gambaran itu lebih-lebih ketika pada 9 Mei kemarin Kabupaten Pasuruan ungkap 21 orang confirm corona. Sekaligus.
Padahal sebelumnya ada 19 pasien. Sampai pada Selasa, 12 Mei dicatat 42; dan terakhir per Jumat, 15 Mei, ada 45 warga kabupaten dinyatakan positif.

Malah, 5 pasien dalam pengawasan (PDP) di Kota Pasuruan pada Selasa itu diumumkan positif, sehingga total terdapat 15 orang terkonfirmasi corona.

Pada hari Selasa juga, giliran Kabupaten Probolinggo ungkap 11 positif baru, yang tentu merubah data menjadi 36 kasus. Hingga per Jumat, 15 Mei, didapatkan angka 38 positif Covid-19 di Kabupaten Probolinggo.

Sekalian mungkin bisa dituliskan, kalau saat ini di Kota Probolinggo ada 11 dan Kabupaten Lumajang malah terdapat 31 pasien dikonfirmasi corona.

Belum lagi, kabar 49 karyawan sebuah perusahaan rokok di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan didapati reaktif, setelah rapid test massal. Meski mereka masih harus menunggu hasil swab, sampai nanti dinyatakan negatif atau kah positif.

Pastinya angan-angan ada lagi pasien positif di Kabupaten Pasuruan selain dari 45, menyeruak. Dalam hati tetap berdoa, semoga 49 karyawan reaktif itu, tak terjangkiti.

Nah, soal corona di tapal kuda itu, beberapa kawan kebetulan ada yang chat. Pada intinya menyikapi rentetan kasus positif di daerah-daerah yang masuk jelajah WartaBromo.com dalam unggah kabar selama ini.

“Kok tambah akeh yo?” begitu salah satu kalimat yang dituliskan.

Sebelumnya, kalau melihat kolom komentar, FP FB WartaBromo terhadap berita corona, kalimat yang muncul juga beragam, mulai dari komen mblenger, tuliskan kata lebay, sampai kalimat mirip-mirip hujatan.
Untuk komen netizen yang budiman tersebut, saya tak sanggup memberikan catatan, terlebih ikut-ikutan menjawabnya. Kabur dah.

Tentu, pertanyaan chat pribadi itu juga tak bisa diberikan jawaban, sehingga saya hanya membalas dengan emoticon nyengir. Karena memang kalimat sederhana itu tak bakal mampu saya jawab.
Lah yang harus njawab terus sapa? tau ah gelap, hehehe..

Tapi pastinya, sejumlah pertanyaan dan pernyataan kawan itu bisa dipahami sebagai bentuk kegelisahan, atau jangan-jangan rupa kemarahan yang tertahan. Marah terhadap fenomena wabah sampai murka pada cara penanganan corona ini. hiks..

Membincangkan cara penanganan, awalnya bisa dibilang ngelus dada.
Ambil bahasan barangkali Kabupaten Pasuruan.

Bukan bermaksud apa-apa. Kabupaten yang dikomandani Gus Irsyad ini, pada awal-awal sebelum secara resmi rilis pasien positif, atau masih dalam posisi nihil, beberapa waktu sempat santer rasan-rasan sudah ada yang positif. Terus kena lagi hingga berlanjut saat ini tercatat 45 positif selain juga 49 karyawan pabrik reaktif.

Banyak pihak barangkali beranggapan Kabupaten Pasuruan kebobolan, dengan melanjutkan ungkapan bernada pertanyaan, bagaimana cara gugus tugas menanganinya.

Melepas sisi ungkapan bobol, lain pihak malah melihatnya tak umum. Boleh dibilang ekstrem, karena banyaknya temuan itu dianggap “baik dan berhasil”.

Mulanya dahi ini cukup lama berkerut. Bagaimana mungkin puluhan positif itu jadi keberhasilan?

Tapi sepertinya semua terlebih dulu kudu menyepakati, bahwa corona bukan soal matematika dan tidak juga perbandingan sebuah data. Ada 1 saja pasien confirm, sebenarnya sudah jadi bencana. Sehingga bobotnya bukan pada jumlah kasus, melainkan lebih pada sisi kualifikasi: ada dan tidak ada.

Menanggapi pandangan yang beranggapan banyak temuan adalah (tanda kutip) baik, juga dilandaskan penilaian pada kerja gugus tugas. Maksudnya, seluruh kekuatan diarahkan untuk bersama-sama memutus rantai penyebaran virus yang sampai kini belum ada obatnya ini.

Tim surveilans Kabupaten Pasuruan sepertinya tak berhenti melakukan tracing dan tracking, tatkala mendapati seorang pasien positif. Dari penelusuran itu dijumpai mereka yang kontak erat dengan si positif, dilakukan rapid dilanjut swab. Masalahnya, dari serangkaian tahapan tracing itu, muncul pasien positif baru.

Tenaga yang dicurahkan itu membuahkan hasil. Tim surveilans telah mencoba mengurangi sebaran Covid-19, karena mereka yang kontak erat dengan si positif akhirnya dapat dijumpai, diminta kesediaannya untuk bertahan tinggal di rumah (isolasi mandiri). Atau kalau pun diketahui ada keluhan sakit, yang bersangkutan diarahkan untuk berkenan menjalani perawatan medis.

Kebetulan dari rekaman data, pasien-pasien positif ini hampir kesemuanya dari yang memiliki kontak dengan pasien positif sebelumnya. Jadi boleh dikata, pasien positif di Kabupaten Pasuruan ini bukan klaster lepas, yang tak diketahui tertulari dari siapa dan dari mana.

Bisa dibayangkan, bila tak ada tim surveilans, yang melibatkan petugas dinas kesehatan, Puskesmas, maupun pihak pendukung lain itu. Jika saja mereka tak terus berjibaku, tak miliki semangat memutus penyebaran, diperkirakan, virus corona bisa sangat leluasa menulari warga.

Begitu kira-kira penilaian, kenapa rentetan daftar pasien positif itu justru menjadi penting ketika ditemukan, karena bakal ada tindak lanjut upaya penyembuhan, selain yang utama adalah memastikan corona tak kian mewabah.

Problem yang berkembang lain barangkali pada sisi yang sempat disinggung pada kalimat sebelumnya. Yakni terhadap mereka yang suspek karena sempat “kontak” fisik dengan si positif.
Seperti diketahui, mereka telah dimintai kesadarannya untuk jalani isolasi. Tawarannya bisa isolasi mandiri di rumah, di rumah sakit, atau pun tempat khusus lain yang disediakan. Katanya, bagi mereka yang masuk dalam daftar itu, diberikan sedikit bantuan, di antaranya sembako selain kebutuhan terkait konsumsi sehari-hari.

Sayangnya, beberapa laporan justru mengungkapkan hal menakutkan. Karena tidak sedikit di antara mereka lebih memilih “melanggar perjanjian” isolasi di rumah, atau malahan kabur dari tempat isolasi yang disediakan.

Beberapa orang yang masuk pantauan, lebih suka menuruti hasrat untuk lanjut beraktivitas, dengan membuka dan berjaga di toko maupun tempat usaha yang dimiliki. Padahal, dia-nya harus menghindari ketemu dengan orang lain. Artinya, harapan isolasi itu adalah agar tak mengancam yang lain.

Meski dalam konteks ini belum tentu juga yang bersangkutan terpapar, tapi yo mbok yao, isolasi dijalani dengan tertib. Agar apa? sekali lagi, agar kemungkinan sebaran virus tak kian meluas, sehingga lebih mudah terurus.

Di sini peran petugas yang dikomando gugus tugas diuji kembali. Sampai sejauh mana praktik pendampingan untuk pengawasan terhadap mereka yang rentan benar-benar dioperasikan. Kerja lapangan ini, diyakini sangat menguras tenaga dan mengorak-arik emosi. Tapi, barangkali itulah tantangan besarnya, bila ingin memutuskan mata rantai sebaran.

Ada cerita lain soal mereka yang enggan hadapi isolasi. Ambil contoh seorang santri berstatus reaktif di Probolinggo, yang merasa baik-baik saja, karena tak merasakan gejala sakit seperti terkena Covid-19. Ia kabur dan tak mau jumpai tim surveilans yang meminta menjalani isolasi, meski akhirnya sang santri bersedia bekerjasama. Akhirnya, per Jumat, 15 Mei kemarin, hasil swab-nya keluar dan nyatanya status medisnya meningkat dari sebelumnya reaktif, sang santri terkonfirmasi positif corona.

Tidak patut juga ditulis, jika menabrak permintaan isolasi itu adalah kecerobohan. Saya kira itu bukan ceroboh. Pastinya, kita sepenuhnya menyadari ada banyak hal yang melatari sehingga isolasi menjadi satu hal yang kemudian coba dihindari.

Faktanya, mereka akhirnya dengan sukarela menjalani isolasi agar tak kian menulari. Sikap itu patut untuk diapresiasi. Walaupun tim surveilans harus kembali menelusuri kemungkinan terdapat kontak baru selama mereka di luar isolasi.
Kok jadi ra mari-mari? kiks

Mungkin dicukupkan saja.
Catatan soal sebaran virus ini, kayaknya tak bakal tuntas hanya di tulisan. Butuh kesadaran bareng, bagaimana social-physical distancing diterapkan; berprilaku hidup bersih dan sehat; hingga tetap menjaga imunitas.
Kaitan dengan imun, seperti pengakuan pasien positif yang sembuh itu di antaranya dengan selalu ceria, mengedepankan pikiran atau prasangka baik.

Hal lain dari kalimat terakhir ini, muncul istilah berdamai dengan Covid-19; hingga new_normal.

Ah, kalau istilah-istilah baru perlu diungkap lain waktu. hehehe..

Semoga semua baik ya Bolo?

(*)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.