Oleh: Asad Asnawi
SEMUA bermula dari rapat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Pasuruan pada 10 April lalu. Ketika itu, rapat menyepakati pengadaan 2,5 juta masker untuk dibagi-bagikan kepada warga.
Hingga tiga hari kemudian, melalui rapat dengar pendapat bersama Pansus Covid-19 DPRD 13 April, terungkap anggaran yang disiapkan untuk program ini mencapai Rp 8,7 miliar. Dengan perhitungan, Rp 3.500 per pcs-nya.
IKM & UKM menjadi sasaran penerima kegiatan ini. Dengan harapan, sektor yang ikut terpukul imbas pandemi Covid-19 ini bisa sedikit bergerak.
Nah, dari 2,5 juta masker yang akan dibuat itu, OPD ditunjuk sebagai penanggung jawabnya. Yakni Dinas Koperasi (Dinkop) dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag). Itu karena merekalah yang paling paham, paling tahu, dan paling mengerti tetek bengek IKM-UKM di kabupaten. Termasuk soal database jaringannya.
Meski begitu, kuota kedua OPD tersebut tak sama. Disperindag bertanggung jawab terhadap 1,5 juta masker. Sedang Dinkop sejuta masker.
Sampai disitu, semua masih berjalan seperti biasa. Tidak banyak polemik. Jika pun ada, hanya sebatas kekhawatiran akan masa pengerjaan. Tidak lebih.
Akan tetapi, kasak-kusuk mulai berkembang saat terungkap dari 1,5 juta masker Disperindag, tidak seluruhnya diserahkan ke Himpunan Asosiasi IKM-UKM (HIAS). Merespons itu, publik pun bertanya: lalu yang 500 ribu kemana?
Dari sinilah polemik bermula. Disperindag, yang merupakan otoritas pengelola program tidak memberikan penjelasan. Begitu juga HIAS, yang merupkan mitra kerja dinas juga tak banyak tahu.
“Kami hanya mengerjakan yang satu juta,” kata Ketua HIAS, Ridwan awal Mei lalu.
Sebagai catatan, HIAS merupakan Himpunan Asosiasi IKM-UKM, bukan himpunan IKM-UKM. Sebagai himpunan asosiasi, ada banyak asosiasi IKM-UKM terhimpun disini.
Jika merujuk data yang terpampang di portal organisasi, ada 2.156 UKM terdaftar di HIAS. Mulai dari tenun, konvensi, hingga kulit. 412 diantaranya tercatat sebagai anggota binaan.
Kembali ke soal setengah juta masker yang menjadi tanggung jawab Disperindag tadi. Dalam proses mencari kejelasan kepada siapa pekerjaan itu diberikan, muncul data nama-nama penggarapnya. Lengkap dengan kuotanya.
Yang membuat publik heboh adalah profil dan juga latar belakang nama-nama itu. Sebab, mereka bukan kalangan IKM-UKM. Tapi, lebih dikenal sebagai pegiat LSM, Pejabat, Dewan, hingga Wartawan.
Pada akhirnya, pihak Disperindag mengakui daftar nama-nama itu. Pun juga sebagian mereka yang namanya tercantum disitu. Mereka, hanya sebagai fasilitator-katalisator IKM-UKM agar bisa mengakses pekerjaan pembuatan masker itu.
Pada konteks ini, sejatinya pun tidak ada yang salah. Kenyataannya, tidak semua pelaku IKM-UKM memiliki kemampuan untuk mengakses informasi ke dinas.
Akan tetapi, akan menjadi evaluasi ketika peran itu justru berganti menjadi negosiator, atau broker pekerjaan yang tak bisa dipungkiri jamak terjadi dalam dunia jasa pengadaan di lingkungan pemerintah.
Memang, pada akhirnya para pelaku IKM-UKM berikut penjahitnya lah yang bekerja. Akan tetapi, menjadi berbeda jika IKM-UKM yang harusnya sebagai orang pertama menerima pekerjaan itu, tergeser menjadi orang kedua karena hadirnya nama-nama itu. Pasalnya, kehadiran nama-nama itu sekaligus menambah mata rantai pengerjaan, yang pada akhirnya berdampak pada margin keuntungan yang didapat IKM-UKM.
Boleh jadi, diantara daftar nama itu, ada yang memang benar-benar tulus membantu para IKM-UKM untuk mendapatkan pekerjaan itu. Dengan kata lain, namanya ‘tercatut’ tanpa ada motif untuk ikut mendapat untung dari program tersebut.