Bulan di Pelabuhan Stockholm

1295

Aku tidak terkejut. Itu sudah biasa.
Namun yang tak biasa adalah air mata. Kenapa wanita mudah menangis? Jika setiap malam semua wanita di taman ini menangis, maka kota ini akan menjelma seperti Kota Venesia yang penuh dengan air. Dan beberapa tahun kemudian, air mata itu akan menenggelamkan kota, beserta kenangan di dalamnya.
“Kau berbohong?”
“Apa? Kau pikir air mata ini hanya ilustrasi?” Nada suaranya meninggi. Wanita memang makhluk yang sensitif.
“Bukan, bukan. Bukan itu maksudku. Ini tentang apa yang kau ucapkan pertama kali kepadaku.”
Sofia mencoba mengingat.
“Yang mana? Aku lupa.”
Nah. Kenangan memang membuat orang menjadi pelupa.
“Katamu, ketika berada di taman ini kau akan sembuh dari semua peristiwa yang menyakitimu. Jadi kenapa kau masih menangis?”
“Air mata itu menyembuhkan. Dan bulan di taman ini adalah pemicunya.”

Memang di taman ini bulan tampak indah sekali, menggantung di langit dengan bebas dan sempurna. Jauh berbeda dengan di pusat kota, gedung-gedung bertingkat yang dihiasi lampu merkuri akan mengalahkan cahaya bulan, atau jalanan di pusat kota yang dipenuhi lampu dari setiap kendaraan. Ketika malam, seluruh kota akan penuh dengan lampu-lampu. Barangkali itulah mengapa di taman ini adalah tempat yang cocok untuk memandang bulan. Tapi pertanyaannya adalah, kenapa hanya karena memandang bulan mereka mudah menangis?
“Suatu saat kau pasti akan mengerti, kenapa di taman ini adalah tempat yang baik untuk bersedih.” Sofia menatapku. Seakan-akan ia bisa membaca pikiranku.
Tapi aku hanya diam. Dan tersenyum. Aku mencoba menikmati setiap keindahan yang ditangkap oleh mataku; pohon-pohon, lanskap pelabuhan dengan jajaran kapal pesiar yang mewah, sebuah dermaga yang murung, laut yang hitam namun bersinar, ombak yang tenang, mercusuar di kejauhan, dan tentu saja bulan yang menggantung di langit, yang cahayanya menyala bersama bintang-bintang. Dan keindahan yang lain ada di sepasang mata Sofia. Bulu matanya lentik. Jika berkedip, aku teringat istriku. Ya, istriku. Bukan mantan istri.
“Kalau boleh menebak, kau pasti sudah punya istri.” Lamunku pecah. Ia membaca pikiranku lagi. Apakah semua wanita memang terlahir dengan keahlian meramal?
“Dari mana kau tahu?”
“Cincin itu. Mungkin kau lupa melepasnya.”
Aku hanya tersenyum.
“Aku sengaja tak melepasnya. Karena aku menduga kau sudah tahu hal ini sejak awal kita bertemu.”
“Malah aku berharap kau melepasnya. Sehingga pertemuan kita ini akan memunculkan kebohongan-kebohongan lain. Itu akan menjadi lebih seru, bukan?”
Apakah semua wanita yang pernah ditingalkan akan bersikap seperti ini, mencari pelampiasan lain untuk menyembuhkan hatinya, yang padahal pelampiasannya ini akan menjadi lebih pedih lagi jika ia mengetahui kebenarannya?
“Sepertinya semua ini hanya menjadi pelampiasanmu saja.”
“Maksudmu?” Sofia mengerutkan dahi.
“Pertemuan ini. Aku rasa semua ini hanya untuk mengurangi kesedihanmu saja.”
“Lagi-lagi kau bodoh jika punya pemikiran seperti itu!”
Namun kali ini aku tidak pura-pura bodoh. Tampaknya aku tak pandai meramal perasaan wanita.
“Jadi kenapa kau masih ingin bertemu denganku, jika sejak awal kau telah mengetahui bahwa aku sudah punya istri?”
“Kenapa kau masih ingin bertemu denganku, jika kau sadar kau sudah punya istri?”
Aku tertawa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Tidak apa-apa.”
“Bagaimana dengan istrimu, apakah tidak apa-apa?”
Kurasa aku tak perlu menjawabnya. Sebab aku menduga ia akan menjawab pertanyaannya sendiri.
“Pasti istrimu sedang pergi untuk waktu yang cukup lama.”
Nah.
“Sepertinya kau ahli menganalisa hubungan.”
Kali ini Sofia tertawa. Sepasang matanya menyempit. Sungguh, jika seperti ini aku benar-benar teringat dengan istriku. Aku memang mencintainya. Namun akhir-akhir ini, hubunganku dengannya sedang tidak akur. Itulah mengapa seminggu yang lalu Sofia menemukanku sedang merenung di sebuah meja bar.
“Kalau aku jadi istrimu, aku pasti akan membunuhmu!”
Kami tertawa bersamaan. Ada sesuatu yang membuatku lebur bersama sisa air matanya. Perasaan ini. Percakapan-percakapan ini. Dan, tatapan ini. Sepertinya aku mulai tertarik kepadanya.
“Bagaimana soal anak. Kau sudah punya?” Aku membuka percakapan lagi.
“Aku tidak bisa hamil.”
“Jadi….”
“Ya. Itulah mengapa mantan suamiku mencari wanita lain. Laki-laki memang berengsek!”
Sepertinya aku salah bertanya.
“Tapi sudahlah, sebaiknya jangan bahas soal itu. Bagaimana denganmu?”
“Belum punya.”
“Apakah kau juga mandul?”
Sialan.
“Tidak. Tidak. Aku hanya bercanda. Tak usah pasang wajah seperti itu.”
“Kalau kau jadi istriku, aku pasti akan membunuhmu!”

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.