Tantangan dan Panduan Para Netra Menghadapi Pandemi

1967
Coba lebih sadar jika bertemu para netra langsung saja mengambil jarak dan teriaklah sebagai penanda kepada mereka.

Oleh: Dendy Arifianto*

“Untuk mengatasi dampak wabah tersebut, saya telah memutuskan dalam rapat kabinet bahwa opsi yang kita pilih adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)”.

Pernyatan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 31 Maret 2020, dilansir dari kanal youtube Sekretariat Presiden.
Penuturan itu disampaikan presiden secara khusus menyikapi situasi yang berkembang atas merebaknya Covid-19 yang kian menunjukkan angka peningkatan.

Seperti dilansir dari tirto.id, hingga 19 April lalu, tercatat 6.575 orang terkonfirmasi positif Covid-19. Menyikapi itu, Presiden pun merasa perlu mengambil langkah-langkah guna membatasi transmisi virus tersebut.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai Presiden sebagai langkah paling tepat saat ini. Kendati begitu, daerah-daerah yang hendak memberlakukan PSBB harus berkoordinasi dengan pusat terlebih dahulu.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 11 tahun 2020 tentnang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, untuk memberlalukan PSBB, setiap daerah wajib mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan. Hingga saat ini terdapat sepuluh daerah yang menerapkan PSBB guna mengurangi penyebaran COVID-19.

Pada sisi yang lain, Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional membawa dampak yang tak sedikit. Baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Dalam situasi seperti itu, pertimbangan keselamatan manusia adalah yang paling utama.

Sayangnya, dari berbagai skenario yang disiapkan dalam kerangka pengamanan dan penyelamatan manusia itu, tak satupun yang memberi perhatian lebih pada kaum difabel, utamanya netra alias orang dengan gangguan penglihatan.

Seperti diketahui difabel netra atau dalam undang-undang termasuk ke dalam disabilitas sensorik. Karena itu, dalam situasi seperti ini, tantangan mereka agar tidak tertular Covid-19 menjadi berlebih.

Kok bisa? Berikut ulasannya:

Menjaga Jarak Aman
Melansir sehat.com, SARs-COV- 2 bertransmisi melalui droplet atau dengan percikan-percikan bersin yang dapat masuk ke mulut, mata, dan hidung. Maka perlu menjaga jarak setidaknya 2 meter untuk menghindari transmisi tersebut.

Lain halnya dengan orang yang dapat melihat, para kalangan difabel netra akan lebih kesulitan menerapkan jarak aman, sebab mereka tidak dapat melihat lingkungan sekitarnya. Hal ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua Cabang Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Pasuruan, Deni Kurniawan.

“Hal yang paling sulit adalah ketika kita di suatu tempat dan tidak dapat melihatnya, dan orang di sekitar mendekati kita, terus bubarlah jarak aman itu.”

Mahasiswa difabel Fakultas Hukum Universitas Merdeka Pasuruan tersebut mengimbau kawan-kawan yang dapat melihat untuk lebih sadar diri dan segera mengambil jarak aman jika bertemu difabel netra.

“Coba lebih sadar jika bertemu tunanetra langsung saja mengambil jarak dan teriaklah sebagai penanda pada tunanetra itu”.

Berbelanja Kebutuhan Sehari-hari

Selain harus menjaga jarak aman, difabel netra juga perlu berbelanja sehari-hari. Melansir solider.id, belum adanya penerapan waktu khusus bagi difabel berbelanja oleh pemerintah Republik Indonesia menjadikan para difabel netra memutar otak lebih keras dalam masa pembatasan sosial ini.

Andi Zulfajrin Syam, Ketua Forum Mahasiswa Peduli Inklusi (Formapi) Universitas Brawijaya menjelaskan pengalamannya berbelanja selama masa pandemi.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.