Pemerintah mewajibkan penggunaan masker untuk semua. Sayang, barang yang satu ini kian sulit dicari. Masker murah yang dijual melalui jaringan apotek Kimia Farma justru berpotensi memicu masalah.
Oleh Asad Asnawi
SATU fakta cukup mengejutkan diungkap juru bicara penanganan Covid-19 nasional, Ahmad Yurianto. Ia menyebut, dari tiga ribu kasus lebih, 60 persen di antaranya merupakan kasus tanpa gejala.
Alasan itu pula yang melatari pemerintah mewajibkan penggunaan masker. Pasalnya, orang-orang tanpa gejala inilah yang berperan sebagai carrier (pembawa virus) hingga menularkan pada yang lain.
“Karena kita tidak tahu yang di luar sana. Orang yang tanpa gejala ini kelihatannya tampak sehat. Tapi sebenarnya ia membawa virus. Gunakanlah masker saat keluar rumah,” terang Yuri saat memberikan keterangan via online.
Yuri pun menyadari bila mendapatkan masker sesuai standar saat ini cukup sulit. Karena itu, sebagai alternatif, masker kain pun tak masalah.
“Paling tidak, masker kain mengurangi risiko untuk tertular. Masker bedah, masker N95 khusus untuk petugas medis. Masyarakat umum cukup dengan masker kain,” lanjutnya.
Mendapatkan masker sesuai standar sekarang ini memang cukup sulit. Jika pun ada, harganya selangit. Satu boks masker kesehatan, yang biasanya dijual Rp25 ribu, kini di “pasar gelap” dijual hingga ratusan ribu.
Media ini sempat mendapati orang-orang yang mendulang rupiah dari menjual perlengkapan APD (alat pelindung diri) ini. Selain masker, ada juga hand scoon.
Wati, sebut saja namanya demikian, meraup untung berlipat-lipat dari berjualan masker dan hand scoon. Agar tidak terdeteksi, barang sengaja ia simpan di tempat lain.
“Maskernya kebetulan habis, belum datang. Tinggal hand scoon-nya yang ada,” kata warga Tudan, Desa Kemiri Sewu, Kecamatan Pandaan ini.
Praktik yang sama dilakukan perempuan asal Candiwates, Kecamatan Prigen. Olehnya, masker yang harga normalnya cuma Rp 25 ribuan, ia jual dengan harga Rp 300 ribu.
“Butuh berapa karton? Minggu depan barang ready,” tanya si penjual melalui aplikasi penjualan online. Hingga waktu yang dijanjikan, barang yang dipesan media ini pun akhirnya datang.
Di sisi lain, untuk menghindari melambungnya harga masker di pasaran, pemerintah melalui jaringan apotek Kimia Farma (KF) menjual masker dengan harga murah. Akan tetapi, skema penjualannya berpotensi menimbulkan masalah.
Berdalih untuk menghindari penimbunan, pihak KF membatasi pembelian 2 pcs untuk setiap orang dan tidak boleh diwakilkan. Termasuk bagi keluarga yang lain.
Sampai di sini, kebijakan itu terkesan tak ada masalah. Padahal, karena tidak ada sistem perwakilan bagi keluarga, kebijakan itu justru akan mengundang masalah baru: antrean. Dan itu kontraproduktif dengan penerapan physical distancing.
Ya, KF memang menjual masker dengan harga relatif murah. Yakni Rp 2 ribu setiap lembar. Setiap orang hanya boleh membeli 2 lembar.
Karena hanya boleh membeli 2 pcs, maka, jika ada masyarakat yang ingin membelikan untuk anggota keluarganya yang lain, ia harus mengajak serta mereka.
Nah, jika dalam satu keluarga terdiri 6 orang, maka sudah ada 6 orang yang mengantre. Bila jumlahnya lebih banyak, antreannya pasti akan lebih banyak. Lalu, bayangkan jika yang datang lebih dari satu keluarga.
Hal inilah yang menuai keluhan dari warga. Ana, salah satu warga Pandaan mengeluhkan kebijakan itu.
“Kalau saya harus ngajak semua keluarga saya, ya numpuk di sini. Belum lagi kalau ada keluarga yang lain, kan ramai jadinya,” katanya.
Untuk menyiasati kekhawatiran penimbunan, ia sudah menawarkan menunjukkan KTP dan juga kartu keluarga. Karena dari sana, pihak apotek bisa mencocokkan jumlah anggota keluarga dengan jumlah masker yang dibeli.