Dia sok misterius. Sudah tahu kondisi Cik Ni sakit-sakitan dan butuh banyak istirahat, ia malah bertamu malam-malam. Saya yakin dia pasti mengancam Cik Ni untuk merahasiakan identitasnya.
Kalau berhasil menemuinya, saya akan menanyainya macam-macam. Kalau dia suami sah atau siri Cik Ni, saya akan suruh dia merawat Cik Ni. Kalau selingkuhan Cik Ni, saya akan suruh dia menikahi Cik Ni, lalu saya geret dia ke rumah Pak RT. Dan kalau dia setan, saya ajak duel sampai mampus.
Lampu rumah Cik Ni menyala. Orang itu pasti sekarang duduk di ruang tamu, menunggu suguhan. Dengan mata yang berat saya ke kamar mandi, membasuh muka, mengambil jaket, lalu berusaha berjalan keluar. Sampai di ambang pintu kamar, terdengar pintu rumah Cik Ni ditutup. ke halaman 3
Cik Ni keluar bersama orang itu. Ia seorang laki-laki.
Cik Ni mengenakan daster merah yang dirangkapi jaket parasut hitam. Sementara laki-laki itu pendek. Lebih pendek dari Cik Ni. Berjaket putih. Mengenakan topi abu-abu yang ujungnya ditarik ke bawah hingga wajahnya tak begitu kelihatan.
Mata saya sangat berat, benar-benar tidak kuat. Cik Ni melihat saya. Ia tersenyum lebar sampai sebagian giginya tampak. Tangannya melambai. Lelaki itu sama sekali tak menoleh. Kepala saya rasanya sudah tak kuat. Saya ambruk di pekarangan rumah. Cik Ni sudah keluar pagar bersama lelaki itu. Samar-samar saya mendengar Cik Ni bicara agak berteriak.
“Titip rumah ya, Mas. Saya pergi dulu.”
Setelah itu yang saya tahu, saya membuka mata pada pagi hari dan melihat orang-orang mengerumuni saya. Mereka mengira saya pingsan.
Sementara rumah Cik Ni ramai sekali. Saya melihat beberapa sanak saudara Cik Ni menangis sesenggukan. Orang-orang mengatakan, Cik Ni meninggal tadi malam di ruang tamu. (*) ke halaman awal
.