Namun saya tidak mendengar apapun. Sesekali hanya terdengar suara batuk Cik Ni. Saya terus menguping tanpa sedikitpun terdengar suara dari mereka berdua sampai saya lelah sendiri dan kembali ke kamar, sementara lampu rumah Cik Ni masih menyala. ke halaman 2
Akhirnya esok paginya saya bertanya kepada Cik Ni soal tamu itu. Saat saya tanyai, ia tampak kaget.
“Heh, sampean jangan guyon! Kapan itu? Sudah tujuh kali? Sampean tidak ngelindur, kan?” katanya balik bertanya. Ia mengernyitkan dahi. Wajahnya heran.
Saya justru lebih kaget lagi mendengar ia menjawab seperti itu. Saya menjelaskan apa adanya; apa yang saya dengar; apa yang saya lihat. Bahkan supaya mengaku, saya membohonginya kalau kadang-kadang terdengar tawanya keras sekali, sekeras bunyi gong kelenteng.
“Memang sampean lihat orangnya? Dia laki-laki atau perempuan? Dan apa benar perempuan tua yang sampean lihat itu saya?” tanyanya lagi.
Kali ini wajahnya serius.
“Mas, mulai sekarang sampean tambah beribadahnya ya. Kamar sampean itu lama tidak ditempati. Saya takut banyak hantunya,” tambahnya malah menasehati saya.
Semenjak itu, tamu misterius itu tidak pernah lagi datang. Sialan.
***
Tempat ini merupakan tempat paling lama yang pernah saya tinggali. Lebih dari tiga tahun. Saya betah karena Cik Ni orang yang baik dan memperlakukan saya seperti anaknya sendiri. Ia sering memasak aneka masakan Cina dan mengajak saya makan malam di rumahnya. Kemudian, jika keluarganya merayakan Tahun Baru Imlek atau Natal atau berlibur, saya selalu diajak bergabung.
Saya tinggal di sini sejak Cik Ni masih sehat wal afiat sampai sekarang sakit-sakitan. Belakangan ia sering pingsan mendadak. Saya sering menggotongnya ketika tiba-tiba ia pingsan saat sedang menyiram tanaman, menyapu, atau menjemur pakaian. Kondisinya mengkhawatirkan. Beruntung kalau saya sedang ada di rumah. Lha kalau tidak?
Kakak dan adiknya menyarankan supaya Cik Ni menyewa pembantu dan perawat, namun Cik Ni selalu menolak. Mereka coba meminta bantuan saya untuk melunakkan hati Cik Ni, namun saya pun gagal juga. Ia Lansia yang cukup keras kepala.
“Kalau tacik pingsan, sementara tidak ada orang di rumah, bagaimana?” tanya saya.
“Saya sering pingsan dan bisa bangun sendiri.”
“Lha kalau tidak?”
“Tenang, saya sudah dapat bocoran. Umur saya masih 150 tahun lagi,” jawabnya menjengkelkan.
Rambut Cik Ni kini nyaris putih seluruhnya. Tubuhnya makin kurus, seperti tak ada secuil daging tersisa. Caranya berjalan begitu pelan, kaki dan tangannya seringkali bergetar dan kadang sampai terdengar bunyi retakan, seolah tulang-tulang itu tak lama lagi akan rontok.
Keluarganya meminta tolong kepada saya untuk memantau kesehatan Cik Ni, terutama untuk selalu mengingatkan agar ia rutin minum obat. Tapi, bagaimana lagi, ia terlampau keras kepala. Obat-obatan itu malah dibuangnya ke tempat sampah, sebab ia lebih memercayai khasiat teh ginseng. Menurutnya, ginseng adalah tanaman yang turun langsung dari surga.
Di tengah kondisi Cik Ni yang makin hari makin mengkhawatirkan itu, peristiwa menyebalkan yang sempat lenyap beberap tahun, terulang lagi. Tamu misterius itu tiba-tiba datang pada Jumat dini hari saat saya baru pulang ronda bersama warga kampung. Jam setengah 3 pagi. Saya posisi di atas kasur dan sudah tertidur beberapa menit. Sialan.
Engsel pagar berdentang, lalu berderit, lalu pintu diketuk. Tak ada suara manusia. Saya paksa tubuh saya untuk bangun, meski mata rasanya seperti digantungi bandul timbangan. Entah apapun tujuan kedatangannya: menjenguk, memotivasi, berdakwah, atau meminjam uang, saya jengkel kepada tamu itu.