Bukan Cinta, tapi Kematian

2087

Sementara yang terakhir adalah, Elena menulis kematiannya sendiri. Dia tahu kapan dia akan mati. Dia akan dibunuh seseorang. Dia tahu kapan waktunya. Di mana tempatnya. Apa motifnya. Tapi dia belum tahu siapa pembunuhnya.
Dan aku paham dengan pola pikir Elena. Secara tidak langsung ia telah memberi tantangan kepadaku untuk menuliskan kisahnya. Atau yang lebih spesifik adalah, menuliskan biografi kematiannya.
***
Kalender bergerak dengan cepat. Senin mengulang senin. Minggu mengulang minggu. Sungguh waktu begitu cepat berlalu. Dan setiap kali aku bertemu dengan Elena atau saat aku menulis tentangnya, ada sesuatu yang membuatku merasa begitu dekat dengannya. Ada sesuatu yang telah menyatukan kami, tetapi ini bukan cinta!

“Bagaimana persaanmu kepadaku, yang sebenarnya?” Pertanyaan ini masuk ke dalam lamunan. Ada sesuatu yang mengalir dari sudut matanya. “Heii… lihat aku!”

Elena ada di sampingku. Tubuhnya telanjang dalam selimut. Rambutnya yang hitam seperti malam terlihat berantakan.
“Yang sebenarnya adalah, kau merupakan mimpi buruk. Aku berpikir bahwa aku akan terus terbangun, sedangkan kau akan menghilang.”

Elena mengedipkan matanya. Air mata mengalir ke pipinya, kemudian jatuh mendekati bibirnya yang setengah terbuka.
“Kau sudah tahu siapa yang akan membunuhmu?”
Elena hanya menggeleng.

“Aku hampir merampungkan naskahku. Aku tidak bisa menentukan siapa yang akan aku tulis sebagai pembunuhmu. Sementara kau berulangkali mengatakan kepadaku, bahwa besok malam adalah jadwal kematianmu.” “Aku rasa seorang penulis adalah Tuhan. Dia bisa menuliskan kematian tokoh-tokohnya.”

Aku hanya tersenyum, dan memeluknya. Dan Elena menghadapkan muka. Dan aku masuk ke dalam matanya. Semakin dalam dan semakin dalam lagi. Kugenggam tangannya erat-erat. Dalam mata itu aku terus berpikir. Yang pasti adalah, aku akan kehilangan dia. Tapi aku tak mencintainya. Elena adalah mimpi buruk! Sejauh ini, memang ada sesuatu yang telah menyatukan kami, tetapi sekali lagi, ini bukan cinta. Ini, kematian!

Sebenarnya ada satu persoalan yang belum Elena ketahui tentang diriku. Bukan hanya dia yang telah melihat kematiannya, tetapi aku juga telah melihat kematianku sendiri. Aku sekarat! Obat yang seharusnya rutin kuminum untuk menunda kematianku itu sudah kubuang jauh-jauh. Sebab aku tahu satu hal, di mana-mana, kematian akan selalu dekat dengan kematian.

Elena masih berada di pelukanku. Dia tak sadar bahwa tangan kiriku sedang menggenggam sebuah belati yang sudah kupersiapkan sebelum ia terbangun dari tidur panjangnya. Kupeluk dia lebih erat. Semakin erat dan semakin erat lagi. Sebentar lagi, akan kutancapkan belati ini tepat di dadanya. Akan kubebaskan dia dari segala kesedihan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya. Akan kupercepat jadwal kematiannya, juga jadwal kematianku!

Sebentar lagi, cahaya matahari akan masuk melewati jendela. Sebentar lagi, semuanya akan menjadi jelas; setumpuk naskah di atas meja, laptop yang setengah terbuka, putung rokok yang berserakan, dua botol vodka yang tersisa separuh, dinding dengan kertas-kertas, dan sepasang tubuh kami, yang berpelukan dalam selimut yang berdarah.
Sebelum belati ini kutancapkan, aku sempat berpikir, apakah aku adalah Tuhan? (*)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.