Penglihatan ini, sungguh misteri.
Tetapi Wanita ini masih duduk di sebelahku, mengembuskan rokoknya dan menenggak minumannya. Kami belum beranjak. Karena tak semua penglihatan yang kualami itu seratus persen akan terjadi. Kadang ada juga yang meleset. Bahkan, ada yang sama sekali tidak akan pernah terjadi.
Jadi aku bertanya kepadanya.
“Bagaimana menurutmu, setelah ini apa yang akan kita lakukan?”
“Yang pasti kita akan pulang bersama, faktanya kamar kita bersebelahan,” jawabnya santai.
“Lalu yang belum pasti?”
“Yang belum pasti adalah, kita akan tidur bersama.”
Di mana-mana, wanita selalu membingungkan.
***
Cahaya matahari menembus gorden. Aku tertidur di atas meja. Laptop terbuka, tapi sudah mati. Putung-putung rokok yang tak jelas bentuknya membuatku pusing. Obat-obat berserakan di atas meja. Sebagian ada yang terserak di lantai. Apa yang telah kulakukan semalam, kenapa kamar ini tiba-tiba menjadi seperti ruang rahasia untuk orang yang sedang melaksanakan sebuah misi penyergapan?
Obat kuminum, dan perlahan-lahan semuanya menjadi jelas.
“Sebenarnya apa yang sedang kau kerjakan?”
Aku terkejut. Suara ini, aku mengenalnya! Aku menoleh dan, benar saja, Elena. Dia berdiri sambil memandangi kertas-kertas yang tertempel di dinding. Lantas dia menatapku. Aku pun membalas tatapannya, yang secara tidak langsung memberi pertanyaan kepadanya, sedang apa dia di sini.
“Maaf, pintumu terbuka, jadi aku masuk.”
Ada sesuatu yang membuatku merasa akan jatuh cinta kepadanya. Ya. Tatapan ini. Ketika aku pandang sepasang matanya, aku seperti menyelam ke dalam lautan yang luas. Karam bersama khayalan-khayalan yang tak masuk akal.
“Sepertinya aku tahu satu rahasia tentangmu.” Elena tak menatapku. Pandangannya tertuju ke arah obat-obatan yang terserak di lantai.
“Kau sedang sekarat.”
“Kapan kau akan mati?”
Sampai di titik ini, semuanya seakan-akan menjadi hening.
“Selain kehidupan malam di sebuah bar, kamar yang katanya hanya tempat untuk bercinta, apa yang Brooklyn tawarkan kepada orang yang sedang sekarat?”
“Sepertinya kau harus berjalan-jalan ke taman.”
“Hanya itu?”
“Menghirup udara segar adalah cara untuk melupakan kematian.”
“Tapi sebelum itu, aku punya sesuatu untukmu,” Elena menyodorkan sebuah berkas yang terkumpul menjadi satu dan terikat dengan tali, “aku ingin kau menulis tentangku, semuanya ada di situ.”
Dan Elena pergi begitu saja. Lenyap di ambang pintu.
Berkas dengan warna merah hati ini kubuka. Ada beberapa gambar yang kuyakin adalah ciptaan tangannya sendiri; sepasang mata, gerhana bulan, sebuah belati, garis-garis yang melintang, pesawat, mobil hitam, lubang hitam. Ada juga berupa tulisan tangan, sebuah catatan keseharian. Aku tak membaca semuanya, aku hanya mengamati polanya. Bagaimana dia memandang sesuatu. Ada beberapa yang membuatku berpikir bahwa Elena termasuk orang yang memiliki perspektif berbeda. Dia tahu dua hal aneh. Yang pertama, dia selalu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang kedua, dia tak akan memberitahu siapa pun tentang hal yang pertama.
Ramalan miliknya begitu spesifik. Dia telah menyaksikan kematian dari sekian banyak hal. Tentang orang-orang yang berada di sekitarnya. Dia tahu kapan mereka semua akan mati. Dia tahu teman kecilnya, Carroline, akan mati tenggelam di sebuah danau. Dia tahu ayah dan ibunya akan mati karena mobil mereka jatuh ke jurang. Dan dia menyimpulkan, kenapa harus mencintai seseorang? Dua tahun yang lalu dia bertemu dengan seorang pilot yang selamat dari kecelakaan. Dia tidur dengannya, tapi dia tak mencintainya. Katanya, jika kecelakaan pesawat tidak membunuhnya, maka cinta yang akan membunuhnya. Kurasa Elena adalah pembunuh.