Oleh Alif Febriantoro
Ini adalah cerita yang nyata. Meski aku sendiri tak yakin apakah yang aku alami ini adalah kenyataan. Sebuah cerita pembunuhan. Sebuah cerita yang tak mempunyai perasaan. Tapi, ini juga cerita tentang cinta, dari seluruh keanehannya. Dari seluruh kemustahilannya….
***
“Berkunjunglah ke New York. Tempatilah sebuah apartemen yang sudah kusiapkan untukmu: Caesura, 280 Ashland PI, Brooklyn. Kamarmu ada di lantai 3 nomor 223. Aku berharap kau mendapatkan inspirasi untuk menulis kembali. Selamat berlibur dan mulailah untuk belajar mencintai wanita. Salam hangat, Max Taylor.”
Maka di sinilah aku sekarang, di sebuah apartemen mewah dengan dinding-dinding yang bersih, dengan lukisan-lukisan klasik yang tak kumengerti apa maksudnya. Kurasa Max berlebihan. Aku tahu di luar sana dia akan berkata, terima kasih kembali, karena dia tahu bahwa aku tak akan berterima kasih kepadanya.
Aku berbaring. Kemudian terlelap.
Pukul 21.55, telepon berdering. Mike, salah satu temanku yang tinggal di sekitar jalanan Brooklyn menelepon. Sialan! Dia tahu keberadaanku di sini. Katanya, dia sudah berada di depan kamar apartemenku. Dia mengajakku minum.
“Keluarlah! Di kota Brooklyn, kamar hanyalah tempat untuk bercinta.”
“Bersenang-senanglah!”
Akhirnya kami tiba di sebuah bar. Memesan dua botol Vodka. Kemudian berbincang-bincang. Aku tahu kenapa Mike mengajakku ke sini. Aku tahu. Pada satu titik, dalam kerumunan orang, aku melihat seorang wanita berjalan ke arah kami. Sesorang wanita dengan gaun merah yang mencolok. Rambut hitam yang tersanggul, yang membuat lehernya semakin terlihat menggoda. Ya. Aku tahu dia berjalan ke arahku. Tatapan mata tidak pernah berbohong.
Benar saja, wanita itu lantas duduk di antara kami. Aku tahu kenapa Mike sengaja membiarkan satu kursi di tengah kami ini kosong. Aku tahu.
“Sudah lama?” sapa wanita ini tiba-tiba. Dia tak menatap siapa-siapa.
“Kau lama sekali! Perkenalkan, Bruck Smith, penulis terkenal dari Inggris. Hei Bruck, dia Elana, teman tidurku. Ha-ha.”
Wanita ini hanya tersenyum. Dia memiliki sepasang mata yang tajam. Tatapan matanya benar-benar dingin. Kurasa dia adalah pembunuh. Sebentar. Aku merasa pernah bertemu dengannya. Aku mencoba membayangkan bagaimana rambutnya ini tergerai. Benar! Aku melihatnya sore tadi ketika aku membuka pintu kamar apartemen. Dia keluar dari kamarnya dan berjalan di belakangku. Dia adalah seorang wanita yang tinggal tepat di sebelah kamar apartemenku. Nomor 222.
“Aku rasa kita pernah bertemu. Kau adalah wanita di kamar 222.”
“Aku juga sudah tahu, kau adalah orang baru di kamar 223.”
Percakapan-percakapan selanjutnya seperti minuman-minuman yang tersalin ke dalam setiap gelas kemudian mengalir melewati tenggorokan, begitu lancar dan memabukkan. Wanita yang bernama Elena ini sungguh menggoda. Cara bicaranya. Bibirnya yang merah, yang perlahan-lahan membuka dan menutup, siapa yang tak ingin menciumnya? Dan tatapan ini, sungguh misteri.
“Aku mengalami dejavu,” tegasnya tiba-tiba.
“Benarkah?”
“Ya.”
Ketika aku dan Elena telah larut dalam percakapan-percakapan, Mike menghilang.
“Apa yang kau lihat sebelumnya?” tanyaku heran. “Botol-botol minuman. Vodka yang tersisa separuh. Seorang lelaki dengan rambut beruban di beberapa helainya. Wajah yang pucat. Kemeja putih bergaris. Dan dua kancing yang terlepas.”
Aku pun sebenarnya mengalami hal yang sama. Sebelum aku sampai di kota ini, aku pernah melihat semuanya. Secara detail. Lanskap sebuah bar. Botol-botol minuman. Rambut hitam yang tersanggul. Bibir merah. Leher yang jenjang. Aku pun tahu bagaimana ini akan berakhir. Aku dan seorang wanita akan pulang berpelukan. Jalanan yang sudah sepi. Malam yang kelam. Mabuk yang berat. Apartemen yang sunyi. Lorong-lorong yang lengang. Gagang pintu apartemen yang dingin. Nomor 223. Seorang wanita jatuh di kasur. Melepas sepatunya. Setelah itu kami benar-benar tak sadar. Dan tiba-tiba saja pada titik itu aku akan teringat apa yang diucapkan seseorang: di kota Brooklyn, kamar hanyalah tempat untuk bercinta.