Oleh: Alif Febriyantoro
Stasiun Lempuyangan, 2019.
15.59. Desember yang menggigil.
“Setelah keretaku berangkat, berjanjilah, kau harus secepatnya berhenti mengingatku.”
Hujan mulai reda. Senja jatuh bersama butiran gerimis. Dan kereta pun melesat meninggalkan stasiun Lempuyangan. Laki-laki itu masih duduk pada sebuah bangku di dekat loket, merelakan kekasihnya pergi, hilang dilumat gerbong kereta dan waktu.
Tapi benarkah ingatan semudah itu untuk dihilangkan, seperti hujan? Perpisahan memang selalu menyakitkan, selalu meninggalkan bekas yang mendalam. Apalagi perpisahan yang dialami oleh sepasang kekasih yang berpisah dalam keadaan masih saling mencintai. Lantas siapakah kiranya yang sanggup melupakan lebih dulu, yang meninggalkan atau yang ditinggalkan?
***
Lempuyangan, seperti stasiun-stasiun lain di seluruh penjuru dunia, adalah tempat di mana diorama perpisahan sering terjadi, adalah tempat di mana pertemuan terjalin kembali, atau adalah tempat di mana seseorang menunggu yang tak pasti.
Begitulah, stasiun telah menjadi tempat yang sudah terlalu klise untuk diceritakan. Namun tidak bagi Lempuyangan.
Stasiun ini, di tahun 2023 telah mendapaktan rekor dunia karena telah menciptakan begitu banyak perpisahan. Bahkan selama sehari, stasiun ini mampu memisahkan seratus pasangan yang berpisah dalam keadaan masih saling mencintai.
“Berpisahlah di Stasiun Lempuyangan, maka cintamu akan abadi.”
Seperti itulah, Stasiun Lempuyangan telah dipercaya mampu membuat cinta sepasang kekasih akan abadi walau mereka telah berpisah dan tak akan pernah bertemu kembali. Dan di stasiun ini, perpisahan telah menjadi semacam kebiasaan baru yang selalu dirayakan oleh sepasang kekasih. Sebab ketika mereka mengalami perpisahan di stasiun ini, secara alami mereka akan lupa tentang segala hal yang bersangkutan dengan kekasihnya.
Sebuah peristiwa magis yang, tentu saja sangat didamba-dambakan oleh ribuan pasangan yang diharuskan berpisah dalam keadaan masih saling mencintai. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan tentang kesedihan yang akan muncul setelah berpisah. Toh, setelah mereka berpisah, mereka tak akan mengingat lagi semua kenangan dengan kekasihnya. Dan tentu saja tak ada yang akan patah hati dari kedua belah pihak, baik yang meninggalkan atau yang ditinggalkan.
Tapi pertanyaannya adalah, kenapa Stasiun Lempuyangan?
Nah. Jadi begini….
Sore itu, setelah hujan menyusut menjadi butiran gerimis, telah terjadi sebuah perpisahan di Stasiun Lempuyangan. Perpisahan ini masih umum, seperti perpisahan-perpisahan lain yang terjadi di sebuah stasiun kereta. Tak ada yang istimewa. Tak ada yang perlu menuliskannya. Namun tidak bagi lelaki itu, yang ditinggal pergi kekasihnya karena harus pulang ke rumah untuk menerima lamaran dari lelaki lain.
Sebenarnya perempuan itu tak ingin menerima lamaran lelaki lain selain kekasihnya. Ia sangat mencintai lelaki itu. Tapi ternyata cinta tak cukup kuat untuk menolak keinginan ayah perempuan itu yang sedang mengidap kanker hati, yang menginginkan putri satu-satunya agar segera menikah dengan lelaki yang telah dipilihkan.
Ternyata cinta tak cukup kuat untuk mengubah lelaki itu–yang menyandang gelar semester tua, yang kesehariannya digunakan untuk menulis cerita pendek dan berharap dimuat di berbagai media untuk mendapatkan honor yang bagi pengusaha tak seberapa–menjadi lelaki yang berani mengambil risiko untuk datang menemui orangtua perempuan itu dan meyakinkan mereka bahwa ia adalah lelaki yang pantas menjadi menantu. Tidak. Kenyataannya, cinta mereka tak sekuat itu.
“Setelah keretaku berangkat, berjanjilah, kau harus secepatnya berhenti mengingatku.”