Cerpen
“Kurasa ada bayi di rahimku.”
Oleh Amal Taufik
IA duduk di teras vila pagi itu sambil memutar How Deep Is Your Love dari Ponselnya. Lagu itu diputar berulang-ulang, seperti hanya itu satu-satunya lagu di Ponselnya. Dan tiap sampai lirik how deep is your love.. i really need to learn.. cause we’re living in a world of fools..… ia menirukan nadanya dengan bersiul.
Seorang perempuan berdiri di ambang pintu. Wajahnya kusut. Tadi malam istrinya itu tidur lebih lambat darinya. Dan seharusnya pagi ini mereka jalan-jalan keliling kampung.
Ia sengaja mengajak istrinya menjauh dari kota, menghabiskan waktu berkualitas berdua; berharap bisa mengembalikan keadaan seperti awal-awal menikah dulu.
Tetapi sejak berangkat tadi malam sampai pagi ini, istrinya belum menunjukkan raut bahagia sama sekali.
“Duduklah,” katanya pada perempuan itu.
“Pak Pa’i, pemilik rumah ini, umurnya sudah 70 tahun. Tapi lihat, ia sepertinya masih kuat kalau kuajak futsal,” Ia mengangkat dagunya ke arah lelaki di depan vila yang sedang sibuk menyapu dan menata barang-barang di sepetak toko 3×2 meter.
“Kau tahu, Pak Pa’i tak punya anak dan masa tuanya baik-baik saja,” imbuhnya.
Ia menoleh ke wajah istrinya karena mendengar suara sroot…sroot.. berkali-kali. Kemudian diambilnya tisu di ruang tamu lalu ia bermaksud mengusapkan tisu itu ke hidung istrinya, tetapi tangannya ditepis oleh sang istri.
“Malu! Kaupikir aku anak kecil.”
Ia terkekeh.
Rombongan wisatawan asing melintas di depan mereka. Kebetulan hari ini adalah Hari Raya Kasada. Pada hari raya ini, suku Tengger akan melaksanakan upacara melempar kurban ke dalam kawah Gunung Bromo sebagai sikap penghormatan atas pengorbanan Joko Seger dan Roro Anteng.
Sebenarnya ia tertarik menonton upacara itu, tetapi lagi-lagi ia ingat wajah malas istrinya.
“Mas, bagaimana kalau kita segera pulang? Aku ingin minta maaf pada mama,” kata istrinya tiba-tiba.
“Kupikir kita semua sudah saling memaafkan, meski rasa kecewanya padamu tampaknya belum hilang,” jawabnya.
“Ya, aku tahu. Dan aku mengakui aku salah.”
“Tapi kau selalu mengabaikanku, itu juga keliru,” tambah istrinya.
“Lis, kau bisa lihat kan, bunga-bunga edelweis yang tumbuh di sepanjang jalan ini. Gunung yang berdiri gagah di sana. Udara bersih yang kita hirup. Dan kita berdua yang duduk di sini tanpa diganggu siapapun. Kuharap kau tidak merusak momen ini.”
“Entahlah. Kau selalu menghindar tiap kuajak membicarakan rumah tangga kita.”
“Aku hanya ingin rumah tangga kita baik-baik saja, Lis.”
“Aku pun ingin begitu. Tapi nyatanya, kau lihat, rumah tangga kita tidak baik-baik saja.”
“Kalau begitu mari kita buat baik-baik saja mulai sekarang.”
“Astaga, menurutmu memperbaiki rumah tangga segampang membuang rongsokan?”
“Ya, sama seperti gampangnya menghancurkan rumah tangga kan?”
“Baik, aku tahu arah kalimatmu, Mas. Mengapa kau masih membahas itu lagi sih?”
“Masih kontak dengan Roni?”
“Jika kujawab tidak, apa kau mau percaya?”
“Bukankah aku selalu percaya padamu, dan…”
“‘Dan kau membakar kepercayaanku’ begitu kan lanjutannya?”
Ia tersenyum, tangannya meraih bungkus rokok dan melolosnya sebatang dan menyalakannya. Asap yang keluar dari mulutnya dibawa angin mengusap wajah istrinya. Istrinya batuk-batuk lalu memandangnya dengan mata jengkel.
“Kau tak pernah mau memahami bagaimana ada di posisiku, Mas.”
“Kau juga tak paham bagaimana di posisiku, Lis.”
***
Enam tahun lalu ia melamar istrinya di kawah Gunung Bromo. Saat itu mereka masih sama-sama kuliah semester akhir. Ia memilih Bromo atas saran dari salah satu sahabatnya yang sebelumnya berhasil melamar kekasihnya di puncak Semeru.