Ide-ide para pemimpin negeri makin hari bikn geleng-geleng kepala saja. Menjadikan kita gagal fokus.
Oleh M. Asad
JIKA dipikir-pikir, ada satu kebiasaan ‘nyeleneh’ yang lekat dengan pejabat pemerintah saat ini. Yakni, membuat gaduh dengan celotehan-celotehan yang tak masuk akal.
Yang terbaru adalah gagasan Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendi yang mengusulkan fatwa agar si kaya menikah dengan si miskin. Pun sebaliknya.
Pernyataan itu disampaikan Sang Menteri kala menghadiri acara Pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional di JIExpo, Kemayoran, Rabu (19/02/2020).
Gagasan absurd itu ditujukan kepada koleganya, Menteri Agama, Fahrul Rozi yang juga hadir dalam acara tersebut.
“Mbok disarankan sekarang dibikin Pak Menteri Agama ada fatwa; yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin,” kata Muhadjir yang kala itu berkesempatan menyampaikan sambutannya, seperti dikutip CNN Indonesia.
Sontak, ‘ide gila’ itu pun disambut beragam kalangan warganet. Sebagian menganggap statement tersebut sebagai sesuatu yang serius hingga layak ditanggapi dengan beragam argumentasinya.
Sebagian lagi, justru menjadikan pernyataan itu sebagai bahan candaan. Sampai-sampai lupa bila gagasan tersebut keluar dari bibir seorang menteri.
Lihat saja komentar-komentar para warganet atas berita soal fatwa kaya-miskin itu. “Waah ini.. kayaknya mulai enak jadi orang miskin. Gak perlu susah ngumpulin duit biar jadi kaya,” tulis Nur Hasanah di kolom komentarnya dengan emoticon tertawa.
Nur Inayati, warganet lainnya memberikan tanggapan berbeda. Ia bilang, pernyataan mantan Menteri Pendidikan itu sebagai hal yang aneh.
“Usulan aneh… maukah bapak menteri besanan dengan orang miskin?” tulisnya mengomentari berita tersebut. Saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai ide yang absurd.
Absurd bukan hanya si pemberi pernyataan yang jauh dari urusan nikah, tapi juga materi pernyataan yang jauh dari substansi sama sekali.
Mengentaskan kemiskinan memang bukan perkara mudah. Tetapi, tidak menyangka juga jika sampai bapak punya gagasan fatwa nikah itu.
Lebih jauh lagi, pernyataan itu secara tidak langsung mempertegas adanya pertentangan kelas antara si kaya dan si miskin. Seolah-olah, karena pertentangan itu, si kaya tidak mau menikah dengan si miskin. Begitu juga sebaliknya.
Tak percaya? Coba saja Pak Menteri menjawab pertanyaan dari Nur Inayati itu. Mau bapak besanan dengan si miskin yang dekil demi sang besan mentas dari kemiskinan?
“Silahkan pak menteri mulai dulu memberi contoh dengan menikahkan anak cucu bapak dengan gembel bembel pengemis di lampu merah,” tulis Bosalambeng mengomentari usulan Muhadjir.
Duh Pak Menteri ini. Apa ya tidak dipikir dulu ya sebelum membuat statemen seperti itu. Mancing-mancing bikin gaduh, ujung-ujungnya blunder.
Pak Menteri,tidak adakah yang jauh lebih penting untuk disampaikan? Terkait program Bapak misalnya? Program apa yang paling Bapak andakan sebagai master dalam pembangunan manusia dan kebudayaan ke depan?
Tapi, ya sudahlah… Bukan cuma Bapak kok. Toh membuat gaduh dengan pernyataan-pernyataan ide kontroversial juga sudah menjadi “hobi” pejabat-pejabat di Jakarta sana.
Tuh, contohnya soal ide membuat Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang di dalamnya banyak mengatur persoalan pribadi. Seperti tak ada yang jauh lebih penting ketimbang mengurusi privasi warganya. Bener-bener bablas….. (*)