Tapi, baiklah… Mengikuti kerangka berpikir penyidik, bahwa peristiwa ini pyur kriminal, tetap saja ada yang mis lantaran tersangka kasus ini hanya satu orang. Padahal, SM tidak melakukan perbuatannya seorang diri.
Pada dugaan KDRT, rekan-rekan SM semestinya tahu adanya praktik tindak kekerasan tersangka kepada “korban”. Tapi, bukannya melaporkannya, mereka justru beberapa kali melibatkan diri. Dalam konteks ini, pasal permufakatan jahat selayaknya bisa diterapkan.
Begitu juga dengan dugaan TPPO. Mereka “yang membeli”, pasti tahu bila korban adalah istri SM “yang dipaksa dijual”. Sekali lagi, bukannya melapor karena adanya praktik TPPO, ia justru menjadi bagian dari TPPO itu sendiri. ke halaman 2
Karena itu, seyogyanya, jerat TPPO tidak hanya dikenakan pada SM. Tapi, juga mereka yang “membeli” jasa yang disediakan SM. Artinya, dalam TPPO, antara penjual-pembeli sama-sama kena.
Lalu, apa bedanya dengan prostitusi, yang dalam praktiknya tidak menjerat pria hidung belang? Karena dalam banyak kasus, jarang sekali kasus prostitusi dijerat dengan TPPO, melainkan KUHP. Sebab, dengan KUHP, penyidik tidak perlu membuktikan unsur paksaan.
Lalu, terhadap jeratan ketiga; UU 44/2008 tentang Pornografi, seharusnya, mereka yang terlibat dalam proses itu ikut menjadi tersangka. Sebagaimana diatur pasal 29 dengan penggunaan frasa “setiap orang yang memproduksi”. Tetapi, nyatanya hanya satu tersangkanya.
Akan tetapi, lagi-lagi, penerapan pasal, dan juga penetapan tersangka, sepenuhnya merupakan otoritas penyidik.
Publik hanya berharap kasus yang membuat geger bisa dituntaskan dengan fair dan proporsional. Semoga…. (*) ke halaman awal