Kusta bisa dicegah dan disembuhkan. Walaupun sampai menyebabkan kecacatan, selama kemudian mendapat pengobatan dengan benar, maka penyakit itu akan sembuh dan tak lagi menular.
Laporan Amal Taufik
LIMABELAS perempuan berdiri membentuk lingkaran di pelataran pendopo. Ada yang mengayun-ayunkan tangannya; ada yang menggoyang-goyangkan pinggulnya.
“Ayo siap-siap,” seorang perempuan memberi aba-aba. Sejenak kemudian musik berbunyi. Lalu, kelimabelas perempuan itu pun bergerak mengikuti irama musik.
Perempuan yang berteriak memberi aba-aba itu adalah Ratna Indah Kurniawati, perawat di Puskesmas Grati, Kabupaten Pasuruan. Sementara limabelas orang perempuan yang melakukan senam itu adalah para penderita kusta.
Begitulah hari-hari Indah, sapaan akrabnya. Selain aktif di Puskesmas Grati, perempuan berusia 40 tahun itu juga intens mendamping-berdayakan penderita kusta di wilayah kerjanya.
Aktivitas itu bahkan telah ia lakoni sejak 10 tahun silam. “Dulu, di sini, penderita kusta pasti dikucilkan masyarakat,” ungkap Indah, Kamis (23/1/2020).
Sebuah peristiwa yang dialami Somat, 65, salah satu penderita kusta cukup membuat siapapun mengelus dada. Ketika itu, Somat menderita kusta cukup parah. Kaki dan tangannya penuh borok, hingga membusuk.
Sampai-sampai, penyakit itu melumpuhkan saraf kakinya. Sehari-hari Somat bahkan harus berjalan ngesot untuk memindahkan tubuhnya.
Kondisi itu membuat orang-orang di sekitar menjauhinya lantaran khawatir tertular. Bahkan, oleh istrinya sendiri pria itu “dibuang” ke rumah anaknya. Namun ternyata migrasi itu bukan harapan baik bagi Somat.
Di rumah si anak, Somat juga dijauhkan dari apapun, seakan-akan semua yang didekati dan disentuhnya berbuah petaka. Si anak ogah mengurus bapaknya dengan alasan serupa.
“Bilang begini, Anakku kalau lihat bapak langsung muntah. Nggak mau makan,'” ujar Indah mengulang cerita yang disampaikan Somat.
Sebuah gubug di pematang ladang yang jauh dari permukiman kemudian dibangun oleh anaknya. Saban hari makanan dikirim untuknya.
Tapi bukan ke dalam gubug. Melainkan diletakkan agak jauh. Sehingga Somat pun harus ngesot di atas kering tanah ladang lebih dulu untuk mengambil kiriman makanan itu.
Indah sempat menawarkan kepada keluarganya agar Somat dirawat di rumah sakit kusta di Mojokerto. Keluarganya sempat setuju, hanya saja tidak ada satu pun dari mereka yang mau menunggui Somat di rumah sakit. Walhasil, Somat tetap tinggal di gubug hingga ajal menjemput.
Somat meninggal 6 tahun lalu dan tetap dianggap wabah. Jenazahnya tidak dikubur di tempat pemakaman umum, melainkan di tempat jauh, sepi, di pinggiran sungai.
Orang-orang seperti Somat itulah yang “dijemput” oleh Indah. Indah berkeliling ke 9 desa di wilayah kerja Puskesmas Grati untuk menjemput mereka yang dikucilkan; mereka yang dianggap wabah.
Dari 9 desa di wilayah kerja Puskesmas Grati, penderita kusta terbanyak tiap tahun ada di Desa Plososari, Grati. Ia menyebut faktor penyebab seseorang terjangkit virus kusta di antaranya kondisi lingkungan, gizi, dan pola hidup.
“Rata-rata pasien kusta masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah. Di sini banyak orang yang serumah dengan sapi,” katanya.
Penularan penyakit kusta hanya bisa melalui hidung dan mulut. Kuman akan meluncur melalui udara dan menempel pada tubuh si tertular.
Namun Indah berkali-kali menegaskan agar masyarakat tidak perlu khawatir jika si penderita kusta sudah menjalani pengobatan.
“Kalau sudah diobati kuman-kuman itu akan semaput. Nggak akan nular,” tandasnya.
Selama ini pemahaman masyarakat pada penderita kusta kurang lengkap. Sebagian Masyarakat masih ada yang menganggap, bahwa mau diapakan saja, penderita kusta adalah pembawa virus yang membahayakan. Padahal kenyataannya tidak demikian.