Sepuluh rumah sakit di Jawa Timur sempat mendapat pengawasan khusus karena tidak taat terhadap pengelolaan limbah.
Laporan Mochammas Asad
PERMEN LHK Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasyankes membuka ruang bagi mereka yang tidak mampu mengolah limbah B3 dengan menggandeng pihak ketiga. Akan tetapi, proses itu harus sesuai ketentuan perundangan.
Pihak transporter (pengangkut) atau pengolah harus mengantongi izin. Bahkan, jika wilayah kerja pihak bersangkutan meliputi antar wilayah, izin tidak hanya cukup dari pemerintah daerah setempat. Melainkan kementerian (pusat).
Di Jawa Timur, satu-satunya pihak ketiga yang telah mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup adalah PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA). Perusahaan yang berlokasi di Desa Lakardowo, Kabupaten Mojokerto ini mengklaim memiliki kapasitas pengolahan 15 ton setiap hari. Jauh dari volume limbah medis yang dihasilkan tiap hari.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Timur, Dyah Susilowati tak mengelak bila PT. PRIA merupakan satu-satunya pemegang izin pengolah limbah medis. Namun, ia mengelak bila limbah yang diolah perusahaan tersebut melebihi kapasitas yang dimilikinya.
“Kan tidak semuanya ke PRIA. Ada juga yang diambil perusahaan lain. Seperti Wastec, Jasa Medivest, dan juga pihak ketiga lainnya. Jangan lupa, beberapa rumah sakit juga ada yang bisa mengolahnya sendiri. Dan itu tidak perlu izin,” terangnya saat ditemui seusai menghadiri sebuah kegiatan di Surabaya.
Meski mengklaim pengelolaan limbah medis oleh rumah sakit sudah sesuai ketentuan, data yang ditemukan media ini berkata lain. Merujuk Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup (DIKPLH) Provinsi Jawa Timur Tahun 2017, sebanyak 10 rumah sakit di Jawa Timur mendapat pengawasan khusus karena tidak taat terhadap pengelolaan limbahnya.
Dyah mengakui, perlakuan limbah medis memang cukup ketat. Itu karena sifat dan karakternya yang dinilai berbahaya. Bukan hanya bagi lingkungan, tapi juga kesehatan manusia. Karena itu, setiap tahap pengelolaan, harus disertai dokumen pendukung.
“Tempat penyimpanannya saja harus berizin. Begitu juga ketika diserahkan ke pihak kedua atau ketiga, harus berizin juga. Dan itu ada mekanisme MoU-nya, tidak bisa sembarangan,” kata perempuan berkacamata ini.
Saking ketatnya regulasi yang mengatur, Dyah pun meyakini bila ceceran limbah yang ditemukan di banyak tempat, lebih karena ulah oknum. Bukan rumah sakit secara kelembagaan. “Kalau ditemukan ada yang tercecer, berarti ada yang nakal. Dan itu harus ditelusuri,” terang Dyah.
Meski begitu, upaya pengawasan tidak mudah. Alasannya, jumlah tenaga pengawas yang tersedia acapkali tidak memadai dengan coverage area yang begitu besar.
“Kadang-kadang ngontrol juga sulit karena tenaga terbatas. Izin juga dari pusat semua. Sementara pusat juga tidak turun ke lapangan. Pengawasan provinsi dan kabupaten terbatas,” katanya.
Di sisi lain, banyaknya praktik salah kelola limbah medis mendapat sorotan dari Direktur Esekutif Lembaga Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Prigi Arisandi. Menurutnya, regulasi yang ketat, serta biaya pengolahan yang relatif mahal dinilainya menjadi pemicu pihak Fasyankes mencari jalan pintas.
Mengolahnya secara asal, atau bahkan membuangnya di sembarang tempat menjadi contoh paling banyak ditemui. Terbaru adalah temuan limbah medis yang berserakan di bantaran Kali Dinoyo, Kabupaten Mojokerto awal Desember lalu. “Ini menunjukkan, bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola limbah medis ini,” terangnya.