Ketatnya regulasi bukan menjadi jaminan limbah medis dikelola dengan benar. Hasil penelusuran Tempo-WartaBromo menemukan limbah berbahaya dan beracun (B3) itu banyak dimainkan. Bahkan diperjual belikan.
Laporan Mochammad Asad
HARI masih pagi ketika Supiatun dan anaknya, Marni bersiap mengais sampah di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Kabupaten Pasuruan di Desa Kenep, Kecamatan Beji. Sembari menunggu dump truck yang tiba, keduanya mengisi waktu dengan mencari rongsokan di antara tumpukan sampah yang menggunung itu.
Seharian beradu peluh mencari sisa-sisa sampah yang masih laik jual, tak jarang perempuan separo abad lebih ini menjumpai benda-benda berbahaya berupa sisa limbah medis di antara tumpukan sampah itu. Botol-botol bekas infus dan spuit bekas adalah yang paling jamak ia temui. Beberapa di antaranya bahkan masih lengkap dengan slangnya.
Oleh Supiatun, sampah-sampah yang kategori bahan berbahaya dan beracun itu kemudian ia kumpulkan di gubuk rongsokan miliknya. Tak jauh dari lokasi TPA itu berada. “Kalau sudah terkumpul banyak, baru saya jual,” katanya. Pengepul barang bekas di Kelurahan Kolursari, Kecamatan Bangil menjadi tujuannya mengirim barang-barang berbahaya itu.
Bagi Supiatun, hasil dari mengumpulkan botol-botol infus bekas itu terbilang lumayan. Apalagi, dibanding sampah-sampah plastik jenis lain, sampah limbah medis itu termasuk yang paling mahal. Harganya bisa mencapai Rp 13 ribu sampai Rp 15 ribu setiap kilonya di tingkat pengepul. Bandingkan dengan plastik kresek atau bekas air kemasan yang hanya Rp 500 atau Rp 2.500 per kilogramnya.
Kebiasaan yang sama juga dilakukan Soim, pemulung asal Mojokerto, Jawa Timur. Sampah-sampah medis di pinggiran Kali Dinoyo, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto menjadi sasarannya. Padahal, tak sekali jarinya tertusuk jarum suntik yang dibuang sembarangan di bantaran anak Kali Brantas itu.
Iming-iming rupiah membuat Supiatun dan pemulung yang lain mengabaikan ancaman penyakit dan kandungan zat bahaya pada limbah tersebut. Padahal, merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 dan juga Kemen LHK nomor 56 Tahun 2015, infus dan juga spuit bekas masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Limbah, mengacu dua ketentuan itu bisa diartikan sebagai sisa sebuah kegiatan usaha. Jika kemudian sisa kegiatan itu dikategorikan sebagai limbah B3, itu karena sifat dan karakternya memenuhi kriteria seperti; mudah meledak, mengandung penyakit, dan atau mengandung zat berbahaya.
Kaitannya dengan itu, setidaknya ada sembilan jenis limbah —yang kesemuanya masuk kategori B3- yang dihasilkan oleh rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan lainnya. Yakni, limbah dengan karakter infeksius, limbah patologis, limbah benda tajam, sisa kemasan atau barang kedaluwarsa, limbah radioaktif, sitotoksik, limbah farmasi, limbah alat kesehatan yang mengandung logam tinggi, serta limbah tabung gas atau bertekanan tinggi.
Lantaran sifat dan karakteristiknya yang dinilai berbahaya, limbah medis B3 harus mendapat perlakukan khusus. Mulai dari tahap pemilahan, penyimpanan, pengolahan, hingga pemusnahan atau pemanfaatan.
Sayangnya, tidak semua proses pengelolaan limbah medis dilakukan sesuai ketentuan perundangan.