Menyoal Integritas-Netralitas KPU

1378

Tidak semua Caleg melakukan hal tersebut. Hanya beberapa Caleg yang telah menghitung, bahwa dirinya akan kalah, umumnya akan melakukan praktik transaksional untuk memenangkan kontestasi. Selain juga politik uang kepada masyarakat pemilih, tentunya.

Apabila peserta Pemilu atau Caleg sudah “mentransaksikan suara”, maka integritas penyelenggara Pemilu akan dipertaruhkan.

Dengan tertangkapnya salah satu petinggi KPU RI, sedikit-banyak akan mempengaruhi trust atau kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu.

Dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada selama ini, trust masyarakat kepada KPU sudah terbangun dan mulai naik. Pastinya, membangun trust masyarakat tidaklah gampang.

Namun, dengan kejadian operasi tangkap tangan oleh KPK, kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu dan Pilkada, diyakini mulai menurun.

Di tahun 2020 seluruh Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada serentak di 270 daerah. Khusus di Jawa Timur ada 19 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada.

Maka KPU yang sedang dirundung masalah kini tengah diuji. KPU harus dapat menunjukkan diri, membuktikan kepada publik tetap menjaga profesionalitasnya, agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga dengan baik. ke halaman 2

KPU sedang “sakit”, maka harus segera disembuhkan dengan menunjukkan dan membuktikan kepada masyarakat, bahwa seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada dilaksanakan dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu.

Pada penyelenggaraan Pilkada tahun 2020, jangan sampai ada indikasi “permainan” antara penyelenggara Pemilu dengan pasangan calon.
Biaya penyelenggaraan Pilkada telah menghabiskan anggaran yang banyak, maka jangan disia-siakan hanya karena integritas penyelenggara Pemilu yang rapuh terkena godaan “uang pengamanan”.

Karena, jika peserta Pemilu atau pasangan calonnya telah merasa aman dalam perolehan suaranya, maka bukan “uang beli suara” yang djadikan transaksi, namun “uang pengamanan suara” yang dijadikan transaksi.

Maka saatnya KPK atau aparat penegak hukum mengungkap terhadap seluruh praktik-praktik “kejahatan demokrasi” setuntas-tuntasnya. Termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam lingkaran “kejahatan demokrasi” dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Publik masih merekam dengan jelas ketika penyelenggaraan Pemilu tahun 2019, KPU telah menginisiasi, koruptor tidak boleh menjadi calon anggota legisltif. Meskipun Undang-Undang 7/2017 tidak melarang, tetapi seorang calon wajib menyampaikan ke publik, bahwa dirinya adalah mantan narapidana yang akan mencalonkan diri.

Waktu itu, KPU RI bersikukuh –didukung masyarakat sipil penggiat Pemilu-, melarang mantan koruptor mencalonkan diri, yang akan diatur di dalam Peraturan KPU. Inisiasi KPU tersebut mendapat perlawanan dari DPR, meski banyak pihak mendukung usulan KPU RI tersebut.

Di Pilkada, KPU RI juga tetap mengusulkan mantan koruptor tidak dapat mencalonkan diri.

Nah, bagaimana dengan kondisi saat ini? KPU RI yang sedang tersandung masalah setey salah satu anggotanya tertangkap tangan KPK. Di sisi lain KPU RI akan mengusulkan mantan koruptor tidak boleh mencalonkan diri.

Keadaan kontradiktif, dari yang disuarakan oleh KPU dengan masalah hukum anggotanya, meski kabarnya sudah mengundurkan diri.

Pada prinsipnya Penulis setuju dengan inisiasi KPU, tetapi semua itu harus ada dasar hukumnya. Salah satunya diatur di dalam undang-undang terkait larangan itu. Di sisi lain, yang paling penting seharusnya dimulai dari tubuh KPU dan jajarannya sendiri, baru menorehkan larangan itu pada regulasinya.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.