Abdul-Mahdi pada 31 Desember ketika demonstran menyerbu Kedutaan Besar AS di Baghdad melakukan pembicaraan dengan Trump via telepon. Dalam pembicaraan itu diduga Trump setuju dengan gagasan pertemuan Abdul-Mahdi dengan delegasi Iran. Artinya AS tahu akan kedatangan Jenderal Qassem Soleimani ke Irak.
Karena itu, AS sepertinya menggunakan inisiatif ini untuk menjebak komandan militer Iran dan membunuhnya. Hal ini juga yang membuat Abdul-Mahdi sangat marah dan menekankan dalam rapat parlemen untuk membatalkan kesepakatan dengan AS soal penempatan pasukannya di Irak.
Fakta terakhir inilah yang membuat AS tak bisa dipercaya dan Abdul-Mahdi tahu itu. Sehingga tak mau ambil risiko lagi untuk bertanggung jawab pejabat dari negara lain dibunuh AS di tanahnya.
Dan tentu saja, tak akan ada utusan negara lain yang berani berkunjung ke Irak jika tak bisa dijamin keselamatannya. Sebab bisa saja Trump tiba-tiba memerintahkan pasukannya untuk membuhnya seperti yang dilakukannya kepada Jenderal Iran. Dengan alasan orang yang dimaksud mengancam keamanan AS.
Bila ditarik kebelakang, maka akan kita temukan fakta nyata di depan mata terkait AS yang tak bisa dipercaya. Masih di Irak, tentu kita semua tak lupa invasi AS ke Irak pada 2003. Kala itu Presiden AS George Bush menuduh Irak memiliki senjata pembunuh massal. Maka Bush menyerang Irak.
Invasi AS ke Irak selama 9 tahun itu mengakibatkan kehancuran dan ratusan ribu orang tewas. Bahkan Presiden Irak saat itu Saddam Hussein tewas digantung di Amerika tanpa peradilan yang adil. Tapi hingga detik ini apa yang dituduhkan AS ke Irak tak pernah dapat dibuktikan. Senjata pemusnah massal itu tak pernah ditemukan.
Melihat fakta ini, maka betapa sulitnya untuk mempercayai peryataan pemerintah AS. (*)
*Penulis merupakan Freelance Jurnalis, domisili Jakarta