Oleh : Lutfi Awaludin*
AWAL 2020 dibuka dengan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran yang kian memuncak. Kedua negara sudah sejak lama saling bersitegang. Namun kali ini banyak yang mengkhawatirkan perselisihan akan berakhir dengan perang terbuka. Hal ini ditandai dengan saling ancaman keduanya.
Pemicunya, serangan drone AS di luar Bandara Internasional Baghdad pada Jumat 3 Januari 2020 dini hari yang menewaskan Jenderal papan atas Iran, Qassem Soleimani. Pembunuhan itu diakui oleh Presiden AS Donald Trump, bahkan Pentagon menyatakan pembunuhan itu perintah langsung dari Trump.
Trump berdalih bahwa pembunuhan itu dilakukan sebagai sebuah tindakan preventif untuk melindungi AS. Sebab Trump menuduh Soleimani merancang serangan kepada para diplomat dan tentara AS. Meskipun tak ada bukti kapan, di mana dan bagaimana Soleimani merencanakan serangan itu.
Lalu bagaimana bisa menyatakan AS adalah negara yang tak bisa dipercaya melalui peristiwa ini?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu mengurutkan waktu peristiwa dari awal hingga ke Jumat berdarah di Bandara Internasional Baghdad itu.
Semua bermula pada Jumat, 27 Desember 2019. Ketika itu pangkalan AS di Kirkuk, Irak mendapat serangan roket yang menewaskan seorang pekerja kontraktor sipil AS, melukai 4 tentara AS dan dua tentara Irak.
AS kemudian menuduh kelompok Kata’ib Hezbollah yang menjadi dalang pernyerangan, padahal belum ada penyelidikan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas serangan itu. Tapi AS langsung menuduh kelompok Kata’ib Hezbollah.
Kelompok Kata’ib Hezbollah adalah bagian dari kelompok The Popular Mobilization Force (PMF) Irak atau al-Ḥashd ash-Shaʿbī. Kelompok para militer ini yang membantu pasukan Irak melawan ISIS dan membebaskan Irak dari cengkraman ISIS pada 2017. Kelompok ini disebut juga memiliki kedekatan dengan Iran.
Pada Minggu, 29 Desember 2019, pesawat tempur AS membombardir lima lokasi Kata’ib Hezbollah yang menewaskan 25 anggotanya, serta melukai 55 anggota lainnya. Serangan itu oleh AS disebut sebagai respons atau balasan atas serangan roket ke pangkalan militer AS di Kirkuk dua hari sebelumnya.
Dua hari berikutnya, yaitu pada Selasa, 31 Desember 2019, usai melaksanakan prosesi pemakaman anggota Kata’ib Hezbollah yang meninggal akbat serangan udara AS pada 29 Desember 2019, ratusan anggota Kata’ib Hezbollah mengepung Kedutaan Besar AS di Baghdad. Mereka marah dan menuduh AS sebagai agresor.
Pengepungan itu berlansung hingga hari berikutnya, Rabu, 1 Januari 2020. Demonstran bermalam dengan mendirikan tenda di luar Kedutaan Besar AS. Sore hari di hari itu, para demonstran mulai membubarkan diri. Akibat demonstrasi itu, Kedutaan AS mengalami sejumlah kerusakan di kaca dan bagian luar dinding Kedutaan.
Puncaknya pada Jumat, 3 Januari 2020, AS membunuh Komandan Pasukan elit Quds dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Jenderal Qassem Soleimani dan wakil komandan al-Ḥashd ash-Shaʿbī Abu Mahdi al-Muhandis beserta beberapa orang di dua kendaraan.
Pembaca pasti sudah mengetahui bagaimana cerita selanjutnya. Namun banyak yang tak diketahui halayak adalah untuk apa Jenderal Solemani bertandang ke Irak?
Perdana Menteri Irak Adil Abdul-Mahdi pada rapat parlemen untuk menentukan keberlangsungan nasib pasukan koalisi pimpinan AS di Irak membeberkan semuanya. Dalam pidatonya Minggu 5 Januari 2020 itu, Abdul-Mahdi menjelaskan bahwa kedatangan Jenderal Soleimani adalah sebagai delegasi Iran yang diundang oleh Pemerintah Irak.
Jenderal Soleimani dikirim Iran untuk merespons surat de-eskalasi yang dikirim Arab Saudi ke Teheran melalui Baghdad. Soleimani rencananya akan menyampaikan jawaban surat dari Arab Saudi itu ke Abdul-Mahdi. Kemungkinan akan ada titik temu antara Arab Saudi dan Iran yang selama ini sering kali berseberangan.