“Ketika seseorang berada di zona akhir masa kekuasaannya, mereka cenderung melakukan apapun untuk mempertahankan dan mendapatkan fasilitas yang sama saat mereka sudah tidak lagi memegang kekuasaan.”
Oleh : Fittriyah
SALAH satu pakar politik menyatakan bahwa kekuasaan adalah candu. Ibarat psikotropika, bagi siapa saja yang mengkonsumsinya pasti akan ketagihan. Begitu pula dengan kekuasaan. Sekali orang merasakan kekuasaan maka mereka akan ketagihan. Lagi dan ingin lagi.
Rasa ini membuat seseorang menjadi “absolutely power attempt to corrupt”. Kekuasaan yang terlalu besar cenderung berakhir dengan penyalahgunaan kekuasaan.
Para pemegang kekuasaan ini dapat melakukan penyimpangan untuk melakukan korupsi. Korupsi ini dilakukan tidak hanya untuk memperkaya diri sendiri akan tetapi untuk mempertahankan jabatannya di dalam sebuah negara atau dalam sebuah perusahaan.
Kita sadari kekuasaan berkaitan erat dengan pemegang kekuasaan (pemimpin). Seorang pemimpin idealnya harus Cerdas, Amanah, jujur, dan menyampaikan kebenaran secara terbuka.
Akan tetapi terkadang kita lupa, bahwa secara fitrah, seseorang yang merasakan kekuasaan akan mempertahakannya dengan cara apapun. Entah itu dengan tanpa pertumpahan darah seperti kata Sun tzu atau dengan menghalalkan segala cara seperti kata Machievelli. Iya candu kekuasaan. Orang akan merasa ketagihan terus menerus.
Bagaimana kekuasaan tidak membuat candu seseorang?
Lihatlah para pejabat pemerintahan. Mereka difasilitasi dengan berbagai fasilitas seperti halnya mobil atau pengawalan. Kemanapun mereka pergi akan dikawal dan diperlakukan seyogyanya raja yang datang. Apapun perkataannya akan dilaksanakan oleh banyak orang. Belum lagi tunjangan penghasilan yang dia dapatkan.
Apa yang didapatkan ini akan membuat seseorang merasa post power syndrome ketika kehilangan semua keistimewaan (privillage) ini. Membayangkan kebesaran di masa lalunya dan cenderung ingin mempertahankannya.
Nah, ketika seseorang berada di zona akhir masa kekuasaannya, situasi ini membuat seseorang melakukan apapun untuk mempertahankan dan mendapatkan fasilitas yang sama saat mereka sudah tidak lagi memegang kekuasaannya. Hal ini dapat mendorong seseorang untuk melakukan KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme).
Pada tanggal 30 November 2019 lalu, KPU Kota Pasuruan telah me-launching pelaksanaan tahapan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pasuruan Tahun 2020. Di mana ini adalah salah satu agenda kontestasi politik untuk memilih pemimpin Kota Pasuruan selama 5 (lima) tahun ke depan.
Di lapangan, sudah mulai terlihat para kandidat-kandidat yang mulai menebar pesona untuk mendapatkan hati pemilihnya.
Seperti yang saya jelaskan di atas, bahwa pemimpin erat dengan kekuasaan. Ini menjadi catatan untuk pemimpin Kota Pasuruan selanjutnya yang akan dipilih oleh masyarakat Kota Pasuruan. Agar ketika mereka menjadi seorang pemimpin tidak melakukan abuse of power, melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Karena hal ini akan melukai hati masyarakat Kota Pasuruan.
Masih teringat peristiwa silam. Menolak lupa rasa sakit yang dirasakan, ketika melihat orang nomor satu di Kota Pasuruan ini terjerat kasus korupsi dan ditangkap oleh KPK. Sakit tak berdarah. Rasa percaya masyarakat (public trust) terhadap pemimpinnya sirna seketika.
Ibarat orang yang sedang patah hati, akan sulit untuk mulai percaya kembali. Rasa ini menyebabkan masyarakat akan sulit percaya dengan pemimpin yang akan datang. Untuk itu, perlu adanya kerja keras para kandidat pemimpin baru Kota Pasuruan agar mendapatkan kepercayaan masyarakat kembali.