Dari 341 desa di Kabupaten Pasuruan, tercatat baru 170 yang memiliki BUMDes. Itu pun, hanya 7 diantaranya yang dinilai berhasil. Apa sebab?
Laporan Amal Taufik
ADALAH Undang-undang Nomor 6/2014 tentang Desa yang menjadi landasan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Pembentukan unit usaha ini dimaksudkan sebagai wadah ekonomi produktif sesuai potensi yang ada di desa masing-masing. Dengan begitu, ekonomi di tingkat desa bisa berjalan.
Sayangnya, ide baik itu belum bisa dilaksanakan dengan maksimal. Versi pemerintah, ada ribuan BUMDes di seluruh Indonesia yang dinilai gagal, tidak aktif alias mati suri.
Kondisi BUMDes di Kabupaten Pasuruan bisa menjadi potret kecil keberadaan lembaga ekonomi itu di Indonesia. Memiliki 341 desa, hanya 170 desa yang telah tercatat memiliki BUMDes.
Celakanya, dari angka itu pun, belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Data yang didapat WartaBromo.com, hanya 7 desa yang dinilai berhasil mengelola BUMDes-nya dengan baik.
Kabid Bina PPDK Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Munif Triatmoko menyebut 7 desa tersebut antara lain, Desa Wonosari (Tutur), Desa Kalipucang (Tutur), Desa Gerbo (Purwodadi), Purwodadi (Purwodadi), Glagahsari (Sukorejo), Karangjati (Pandaan), dan Genengwaru (Rembang).
Berdasarkan data dari DPMD Kabupaten Pasuruan dari 170 desa tersebut, 102 BUMDes aktif, 12 tidak aktif, 6 baru dibentuk, 50 belum diverifikasi oleh DPMD.
Merujuk data ini, maka katakanlah ada 102 desa di Kabupaten Pasuruan yang hingga kini benar-benar aktif mengelola BUMDes, dan dari 102 desa itu, baru 7 desa yang sukses mengelola BUMDes.
Terkait BUMDes yang tidak aktif atau yang pengelolaannya belum optimal, Munif mengaku ada banyak faktor. Ia pun seringkali menemui BUMDes yang baru sekali buka kemudian tidak berlanjut.
“Banyak faktor. Yang bisa saya ceritakan. Pertama, karena tidak adanya kesungguhan dari pengurus BUMDes. Kedua, salah ambil peluang,” terangnya.
Terpisah, Koordinator Pusat Pemberdayaan Masyarakat Universitas Jember (Kapuspemas Unej) Hermanto Rohman berpendapat, kebanyakan BUMDes saat ini didirikan tidak didasari pemahaman desa akan filosofi pendirian BUMDes.
Semisal dengan harapan agar desa lebih mandiri; mendorong perekonomian masyarakat; menjadikan desa lebih otonom dengan tingginya PAD.
Namun yang terjadi, pendirian BUMDes selama ini lebih didasarkan pada instruksi dari pemerintah daerah, pendamping, dan pihak-pihak terkait lainnya, sehingga BUMDes didirikan bukan dalam konteks mendukung visi desa dalam pengembangan ekonomi, melainkan sebagai program dari pemerintah yang harus dilaksanakan desa.
“Jadi yang terjadi saat ini, yang penting BUMDes itu ada. Karena itu merupakan anjuran UU Desa dalam kerangka mendorong kemandirian desa,” ujarnya.
Seharusnya, ketika kemudian ada kewajiban mendirikan BUMDes, desa perlu melakukan kajian mengenai kelayakan usaha. Umpama saja desa hendak mengembangkan wisata dengan memanfaatkan tanah kas desa.
Maka, desa atau BUMDes perlu membentuk tim untuk mengkaji secara serius potensi tanah kas desa tersebut, sehingga kelayakan usaha dari pemanfaatan aset tersebut nantinya bisa optimal. Namun sayangnya, proses tersebut jarang dilakukan.
Selain itu, menurut dosen pemerintahan desa tersebut, pemerintah daerah dalam konteks ini biasanya justru kurang berperan membina desa dalam mengelola BUMDes. Sepanjang pengamatan Hermanto, yang terjadi selama ini peran pemerintah daerah malah pada wilayah-wilayah pengawasan, seperti pengawasan dana desa.
Kalaupun ada langkah riil pemerintah daerah dalam membina BUMDes, lanjut Hermanto, biasanya hanya melaksanakan Bimtek yang satu hari selesai. Padahal seharusnya pemerintah daerah juga melakukan pemetaan desa-desa yang dapat didorong menjadi pilot project percontohan BUMDes.