Warga Uighur di luar kamp memiliki kehidupan yang tak jauh beda dengan mereka yang berada di dalam kamp. Mereka juga dipaksa menerima indoktrinasi politik. Gerak-gerik mereka setiap saat senantiasa diawasi dengan peralatan pengawasan massal. Seluruh Xinjiang telah dipasangi kamera pemantau.
Pemerintah terus melacak apa yang dilakukan warganya, di mana mereka, siapa mereka, dengan siapa mereka bicara. Kemudian mengumpulkan sampel DNA, sampel suara, menahan paspor mereka dan melarang mereka keluar desa.
Pengawasan massal di seluruh wilayah China memang sangat ketat, tapi di Xinjiang adalah yang paling canggih dan ketat.
Selain melakukan pengawasan secara modern, Beijing juga melakukan pengawasan secara tradisional. Yang disebut dengan “program keluarga”.
Pemerintah akan menempatkan satu orang untuk tinggal di salah satu rumah warga Uighur. Orang ini akan mengawasi seluruh gerak-gerik keluarga itu, jika didapati melanggar hukum, satu dari 75 tanda terorisme, maka akan ditangkap dan dijebloskan ke “kamp pendidikan”. ke halaman 2
Bagi anak-anak yang orang tuanya ditangkap dan dijebloskan ke kamp-kamp “pendidikan”, maka akan diambil alih oleh pemerintah. Meskipun mereka memiliki kerabat, tetap saja para kerabat tak memiliki hak asuh. Selanjutnya anak-anak ini dimasukkan ke sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah. Di sekolah itu anak-anak dididik menjadi China dengan mengajarakan bahasa Mandarin dan tak memperkenalkan budaya Uighur mereka.
Pada dasarnya apa yang menimpa Muslim Uighur di Xinjiang bukanlah masalah keagamaan belaka tapi upaya kontrol Beijing terhadap etnik Turkic dan warga Xinjiang.
Upaya kontrol ini mengakibatkan sejumlah ekspresi keagamaan menjadi terlarang, akibatnya menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan Muslim Uighur menjadi mayoritas dari etnik Turkic di Xinjiang, sehingga mereka menjadi korban terbesarnya.
Lalu bagaimana dengan testimoni banyak orang Indonesia yang berkunjung atau berada di China dan tak melihat adanya penindasan itu?
Di banyak tempat di China akan banyak ditemui umat Islam yang menjalankan salat atau masjid yang dipenuhi jemaah.
Namun, jika menengok aturan Beijing, mereka tegas kepada pemeluk agama untuk hanya beribadah di tempat peribadatan yang terdaftar di pemerintahan. Bahkan da’i dan imam harus terdaftar di pemerintahan.
Bila ada yang belajar Islam dari seorang imam atau da’i yang tak terdaftar di pemerintahan, maka akan ditangkap.
Jadi sistem atau aturan itulah yang sebenarnya menindas pemeluk agama Islam sehingga ekspresi keagamaannya pun harus dengan persetujuan pemerintah China. Di luar itu akan disebut teroris.
Para wartawan yang diundang pemerintah China atau diberi izin Beijing untuk berkunjung ke Xinjiang pun sudah diatur. Mereka dijaga ketat dan diawasi. Mereka akan ditangkap jika memaksa ingin ke kamp untuk mengungkap apa yang terjadi. Begitu penuturan seorang peneliti Xinjiang dari HRW yang saya temui di Jakarta tahun lalu.
Hal yang sama disampaikan reporter Bloomberg, Peter Martin dalam laporannya yang berjudul “How China is Defending its Detention of Muslim to the World”. Peter bersama sejumlah wartawan asing lain mengaku perjalannanya ke tiga kota di Xinjiang dikawal ketat oleh penjaga yang mengantar mereka.
Di perjalanan itu Peter mengungkapkan dirinya tak bisa dengan bebas mewawancarai penduduk atau berkunjung kemana pun dia mau tanpa diikuti oleh petugas. Tapi, rombongan wartawan diperbolehkan menanyakan sesuatu ke petugas yang mengawal mereka. Sehingga mereka hanya mendapat informasi dan menulis dari apa yang pemerintah China sampaikan.